Bagian 5

364 21 0
                                    

Dia menatap langit-langit kamar, mungkin mengumpulkan ingatan atas kematian yang nyaris menimpanya. Apakah dia senang atau menyesal. Dia memang tak bisa ditebak.

Dia menemukan mataku, takut dan hati-hati, ekspesi familiar itu kembali datang, dia kelihatan gelisah. Aku terus memperhatikan, mencoba mencari tahu asal muasal ketakutanku akan sakitnya wanita ini. Ini murni kasihan, ya, hanya kasihan.

Dia beranjak pelan menuju kamar mandi. Aku nyaris berdiri hendak membimbingnya, tapi sekuat tenaga menahan diri sepertinya dia kuat.

Dia kembali, aku segera bergerak. Matanya membesar menatapku was-was, dia segera menunduk menolak menatapku.

"Jangan coba-coba lagi mengulangi  hal yang sama seperti tadi. Kau ingin orangtuamu mati, ha?" Aku berjuang menahan amarah dengan bayangan tangannya yang berdarah.

"Aku akan melakukannya bila terdesak." Dia mendongak menatapku, ada ketakutan di mata itu, tapi dia berusaha menekannya hingga nyaris tenggelam.

"Itu bisa membahayakanmu,"bisikku penuh tekanan.

"Kamu lebih berbahaya dari pisau silet itu, Pak Ade," balasnya langsung membuat ketersinggungan nyata di hatiku.

Tapi dia benar, aku memang semengerikan itu.

"Jangan membantahku!" teriakku dia tidak perlu tahu betapa keraguan ini sangat melemahkan.

"Jangan membentakku." Aku terkejut dengan reaksinya itu tapi harus bisa menguasai diri.

"Apa? Kau belum puas melihatku kesakitan? Atau nafsu bejatmu itu menigkat? Jangan-jangan kau memperkosaku ketika tadi pingsan. Kau benar-benar ...."

Aku tak bisa menahan marah, meraih pinggangnya hingga menempel di dadaku. Dia benar-benar membuat jiwa gelapku kembali.

"Jaga ucapanmu, aku hanya akan meniduri orang yang bisa berteriak." Dia tidak terpengaruh oleh ucapanku, tapi kedekatan ini membuat pipinya,  merona, ini tidak bagus. Aku mendorongnya ke tempat tidur.

Dadaku berdebar kencang, mengawasi pipinya yang masih memerah. Sementara dia menatap waspada. Aku ingin sekali tahu selain nafsu bejat yang kupunya apa yang dia pikirkan tentang aku?

***R.N***

Ruangan kantor yang sunyi, tapi bayangan pipi merona itu seakan di mana-mana. Aku benar-benar kacau. Maira masih marah, aku kehilangan kawan bicara.

[Kau kenal dengan seorang psikologi? Tolong temani aku ke sana.]

Aku tak percaya mengirimi dia pesan seperti itu. Ke psikologi berarti mengakui ketidak warasanku. Aku ingin mencoba, apa yang akan dihasilkan bila datang ke sana? Apakah itu akan merubah perasaanku tentang masa lalu?

[Aku akan ke sana]

Aku tersenyum, akhirnya dia membalas pesanku. Itu tandanya bendera persahabatan sudah kembali berkibar di antara kami.

Tidak lama setelahnya dia sudah berada di kantorku, dengan cerianya seperti biasa, seakan kami tidak pernah memiliki masalah sama sekali.

"Jadi, apa pemicunya, kenapa berubah pikiran?"

Aku menghela napas, dia melontarkan juga pertanyaan itu.

"Tidak ada. Aku ingin mencoba."

"Apakah istrimu?"

Aku menggeleng, aku juga tidak tahu.

"Aku ingin mencoba, Maira. Ayo sekarang kita ke sana."

"Dokter ini teman papaku, hari sabtu dia tidak ke rumah sakit. Kita ke rumahnya saja."

Air Mata Pernikahan (Ade)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang