"Nyonya keguguran, Tuan." Suara Bi Marni menghentikan langkahku bersamaan dengan pintu kamar ditutup keras penuh kemarahan.
"Dia sangat terguncang. Aku sangat mencemaskannya." Bi Marni menunduk, aku bisa melihat wajahnya diliputi kekhawatiran khas seorang Ibu.
"Dia akan baik-baik saja," tegasku merasa, frustasi. Entah kenapa.
"Tolong jangan terlalu keras pada Nyonya."
"Jangan mencampuri urusan keluargaku, Bi." Nada suaraku meninggi. Mata wanita paruh baya itu menatapku memohon.
"Dia pantas dicintai, Tuan."
"Cukup, Bi! Jangan pernah membicarakan ini lagi atau kau akan kuusir."
Aku tidak suka ada orang yang menasehatiku tentang Yura. Dia milikku aku tahu bagaimana cara memperlakukan dia. Meskipun itu Bi Marni orang yang telah mengasuhku dari kecil, menggantikan Mama. Ini kali pertama aku bersuara keras padanya, tapi menurutku ini masih benar.
Aku melangkah menaiki tangga, sejenak tertegun menatap daun pintu kemudian mendorongnya. Mendapati dia yang langsung menyibak selimut mendengar pintu terbuka.
"Apakah kamu senang melihat aku begini? Apakah kamu tahu betapa sakitnya aku? Aku sangat sakit! Semoga kamu puas dan semakin bernafsu memperkosaku!"
Tanganku mengepal, apakah aku bahagia? Dia begitu marah kehilangan calon bayi itu. Kenapa dia begitu menginginkannya? Harusnya aku senang, bukan?
Nyatanya perasaan gamang membuat semua kacau, memporak-porandakan amarah yang tak lagi bermuara di hatiku. Aku marah, dan ... kasihan padanya.
"Kau merenggutnya dariku! Kau jahat! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Dia histeris, menutupi dirinya dengan selimut, kemudian isaknya memecah kesunyian.
Aku menonton semua dengan perasaan kosong. Masih tidak percaya dengan reaksinya. Apakah dia tidak sadar, melahirkan seorang dari darahku, sama saja dengan membuat orang sepertiku bertambah satu lagi.
Sejak itu dia tak lagi sama. Tidak bicara, sering menangis, sangat murung, dan selalu memberi tanda di kalender.
Dia sama sekali tidak pernah melihatku lagi. Tidak ada aura takut atau marah. Dia mematikan auraku di sekelilingnya.
Aku mengawasinya, memperhatikan tiap detail luka yang tercipta oleh bangsatnya jiwaku. Mencoba menyentuh rambutnya pelan ketika dia terlelap. Mencoba mengobati relungku yang sakit entah karena apa.
Di kantor, semuanya terasa menyebalkan. Maira yang masih menghindar. Hamdi yang berkali menolak menggantikanku meeting. Katanya tak bisa digantikan aku harus di sana.
Rumah, aku lebih sering membayangkan istana kecil yang suram ini sekarang. Mencoba membangunkan lagi pekik kesakitan Yura di hening malam. Tapi, gagal. Dia hadir dalam fersi lain dan mengoyak pendirianku.
Malam ini aku ingin mencoba lagi, ikat pinggang menjuntai di tangan menarik perhatiannya yang sedang melamun di depan kalender. Aku tersenyum dia menyeringai, berani.
"Apakah kejadian kemarin membuatmu lebih berani?" Aku mencoba mengintimidasinya, tapi gagal.
"Apakah kau tidak merasa telah menjadi seorang pembunuh?" Dia menantangku, kakinya melangkah mundur mendekati meja rias.
"Tidak. Karena kau yang memulai. Kau yang memancing kemarahanku." Jarak kami semakin dekat.
"Kau benar-benar tak menginginkan seorang anak, ya?" Aku tercekat. Anak? Itu tak pernah ada dalam bayanganku.
"Tidak. Aku tidak ingin dia melihatku memperkosamu."
Itu benar, atau aku akan bernasib seperti laki-laki tua itu. Di pandang sebagai bajingan oleh anak sendiri.