"Ini menarik, apakah kau jatuh cinta?"
"Bukan seperti itu, aku hanya merasa kasihan padanya."
Bagaimana menjelaskannya? Tidak ada cinta di antara kami.
"Kenapa kau bisa kasihan padanya?"
Benar-benar merasa di kantor polisi.
"Aku melakukan kesalahan yang sangat besar. Itu sepertinya sangat melukainya. Aku seakan merampas separuh kehidupannya. Dia menatapku penuh benci. Ini, membuat tak nyaman. Aku takut lepas kontrol lagi."
"Kesalahan seperti apa?" Dokter itu tenang, mampu membuatku merasakan kenyamanan yang tak biasa.
"Apa aku harus menceritakan semua?"
Maira akan marah mendengar cerita ini.
"Ya, Anda harus menceritakan semuanya, Mr. Dengan begitu semua beban di hati Anda akan berkurang. Kita akan mencari tahu cara mengontrol emosi Anda ketika bersamanya."
Rasanya ada sesuatu yang menyayat hati, membayangkan kebrutalan malam itu. Aku benar-benar ....
"Dian menyuruhku ke psikiater."
Maira menegang di sampingku.
"Aku benar-benar kalap, aku menyiksa dan melakukannya berkali-kali. Itu membuatnya, keguguran."
Maira terkesiap. Aku memejamkan mata, wajah basah Yura masuk ke pikiran tanpa bisa di blokir lagi.
"Terakhir dia mencoba bunuh diri ketika aku ingin menyentuhnya. Rasanya aku begitu takut, takut akan sesuatu hal buruk yang bisa saja terjadi padanya."
"Lalu kenapa Anda ingin ke sini? Apa yang Anda harapkan dengan mendatangi saya?"
"Aku, ingin normal. Aku ingin mencoba berdamai dengan masa lalu, tapi itu sangat sulit."
"Anda harus punya keinginan yang kuat, karena perubahan selanjutnya tergantung bagaimana Anda mencoba mengatasinya. Saya hanya bisa menunjukkan jalan dan saran. Selebihnya tetap bergantung pada Anda sepenuhnya."
Aku diam, memang sepenuhnya tergantung padaku. Rasanya mustahil bisa berdamai dengan masa lalu. Aku akan mencoba berdamai dengan Yura. Ya, akan kucoba.
"Untuk tahap pertama cobalah dari istri Anda dulu. Mengontrol emosi agar tak lagi melukainya. Semoga ada perkembangan baik minggu ini. Itupun kalau Anda berniat melanjutkan ini."
***R.N***
Hening, mobil meluncur kencang di jalan. Maira memilih diam begitu juga aku. Ada kelegaan ketika sudah menceritakan apa yang menghimpit pikiranku selama ini.
Aku akan bersikap baik pada Yura. Dengan begitu dia akan betah untuk tetap berada di sisiku. Aku, aku tidak akan bisa melepaskannya. Hampir empat bulan bersama, kehadirannya sudah punya tempat tersendiri di hidupku.
"Dia benar-benar kehilangan bayinya ya?" Maira berbisik seakan pada dirinya sendiri tapi aku mendengarnya. Aku mencengkram stir mobil, rasanya kepalaku terasa dipukul oleh kenyataan yang ditanyakan Maira.
"Ya."
"Bagaimana keadaannya?"
Mungkin pertanyaan Maira basa-basi tapi mereka sama-sama perempuan, rasa simpati yang bisa dipahami.
"Buruk."
Dia tidak bicara hanya sesekali menangis.
"Kau tahu, Ade? Aku tidak menyukai Yuramu itu. Tidak sama sekali. Tapi kali ini aku mohon, jangan lakukan lagi padanya, kasihan dia."