Bagian 2

536 23 0
                                    

Aku mengamatinya dengan perasaan, entah. Dia datang dari arah dapur dengan keadaan kacau. Matanya basah hidungnya merah, khas seseorang habis muntah.

Beberapa buah apel hijau selamat masuk ke dalam perutnya. Dia memakannya dengan lahap seakan buah itu tidak memiliki rasa asam saka sekali. Kehamilan itu benar-benar mempengaruhinya.

"Sekarang makan lagi telurnya." Aku melihat raut terkejut yang nyata di mata cokelat itu.

"Tidak, kamu tidak lihat tadi aku muntah?" jeritnya memancing senyumku.

"Aku hanya tidak ingin kamu pingsan ketika aku sedang bermain denganmu," bisikku santai, dia memperlihatkan keberatan dengan jelas di wajah polos itu, emosiku naik.

"Jangan membantah ayo makan!" Laku dengan tangan bergetar dia mulai memotong telur di piringnya.

Aku kembali mengamatinya dengan tenang. Mencoba mencari-cari selain ketakutan yang nyata apa yang bisa kudapatkan dari wanita ini. Sampai kapan dia mampu bertahan, sebulan atau dua bulan lagi. Yang jelas dia tidak akan jadi mayat di tempat tidurku.

Aku beruntung semua orang begitu mudah kutundukkan. Mereka memuja bagai manusia kehausan. Memang begitu ketika separuh dunia nyaris dalam genggamanmu.

Inilah yang membuat posisiku aman di mata kedua orangtua Yura. Mereka tidak akan bersuara dan tidak akan berani. Namun Yana dia jelas berbeda, dia begitu berani. Dia ancaman terbesarku.

"Cepatlah, aku tunggu di kamar." Dia memakan telur dengan ekpresi tersiksa. Itu membuatku kesal, menunggu di kamar lebih baik.

Kuganti baju kemeja dengan kaus harian, menunggu wanita satu-satunya itu dengan bersandar di kursi dekat meja kerja. Cukup lama, dia sengaja mengulur waktu, memikirkan itu membuat darahku mendidih.

Nyaris aku menghubungi Maira ketika pintu kamar terbuka. Rautnya yang cemas begitu menggiurkan. Denting jam mengingatkanku pada kekesalan. Dia sengaja mengulur waktu.

"Buku bajumu!"

Mata itu terbelalak ngeri ke arahku. Dia meremas ujung baju dan menunduk. Ekspresi yang sangat menggemaskan.

"Bisakah malam ini ...."

"Buka bajumu!" bentakku tak sabar. Menarik bajunya dan membuka cepat, memainkan ikat pinggang lalu menikmati tubuhnya. Dia harus dihukum telah berani membuatku menunggu malam ini.

Tubuh itu telungkup dengan isak yang ditelannya kuat. Bahkan dengan keadaan seperti itu gairahku bangkit lagi, aku mendekat tapi sepertinya dia memilih tidur. Kepalanya terkulai dan aku kehilangan selera.

***R.N***

"Tidak! Jangan lakukan ini lagi. Kau menyakitiku!" Mama bergerak mundur sedangkan laki-laki itu melangkah maju mendekatinya dengan ikat pinggang menjuntai.

"Kau istriku." Laki-laki yang begitu mirip denganku itu tersenyum sinis.

"Aku mohon."

Tapi permohonan itu tidak merubah apapun. Mama menjerit, setiap gerakan Papa adalah pecut yang tak sanggup ditahan tubuhnya. Dia terkapar di ranjang dengan tubuh penuh garis memanjang bekas ikat pinggang.

Aku ke luar dari lemari, tadinya sedang main petak umpet dengan Mama tapi laki-laki itu pulang.

"Mama!"

Aku menggoyang tangan yang kini terasa dingin.

"Mama, mama!"

Aku tersentak dengan keringat membanjiri tubuh. Mimpi itu datang lagi, bahkan ketika Yura sudah ada di sampingku. Wanita ini masih tertidur dengan posisi telungkup. Apa tidak lelah tidur seperti itu?

Air Mata Pernikahan (Ade)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang