Aku melangkah masuk kamar menuju meja kerja, mengabaikan dia yang mengikuti dengan pandangan. Sempat kulirik ada ponsel di sampingnya sepertinya dia selesai menghubungi seseorang.
Mulai sekarang akan kuperjakan seseorang untuk memata-matainya. Termasuk dengan siapa dia pergi tadi. Bertanya langsung akan memperburuk keadaan, dia akan semakin waspada padaku.
"Kau tak perlu mengirimi ibuku uang."
Oh jadi dia menghubungi mertuaku, tapi perkataannya membuatku harus menatapnya dengan marah. Dia menunduk, meremas ujung baju dan membalas tatapanku hati-hati.
"Kau yang memintanya ketika aku melamarmu."
Aku melangkah ke luar dengan cepat membanting pintu sebagai bentuk pelampiasan amarah yang rasanya bisa meledakkan tubuhku kapan saja.
Apa dia benar-benar lupa, tentang perkataan dia waktu itu. Dia memang lupa tapi aku tidak. Tidak akan lupa bahwa aku menikahi seorang wanita dari keluarga sederhana yang harus membiayai kedua orantuanya dan salah satu di antara mereka sudah sakit-sakitan. Tidak akan lupa bahwa kedua orangtuanya itu adalah kelemahannya yang harus kujaga baik-baik.
Aku menekan ponsel sebelum menaiki mobil, bagian yang ini harus diselidiki sekarang. Aku tidak ingin kecolongan.
"Hamdi, apa kau melihat Rio?" Pekerjaan Hamdi di sela kesibukannya adalah memantau para karyawan dia akan tahu siapa yang melakukan kesalahan meskipun kecil.
"Dia baru saja datang sejam yang lalu. Dia minta izin menemui saudaranya di taman." Infomasi yang lebih dari cukup, sudah pasti dia menemui Yura, istriku.
"Ada apa?"
Tentu saja Hamdi akan bingung dengan sikapku. Ini bukan perangaiku yang biasa, tapi aku tidak peduli saat ini tak ada yang lebih penting dari apapun selain apa yang dilakukan Yura.
"Atur pertemuanku saat jam makan siang dengannya."
Ponsel kumatikan. Akan kulihat seberapa beraninya dia, lancang sekali telah menemui istriku. Makan siang dengan Yura tak lagi menarik, membereskan laki-laki ini adalah prioritas utamaku. Dia harus menjauh dari Yura.
***R.N***
Restoran yang terletak persis di samping kantor. Kami duduk berhadapan, kaca mata hitam yang masing-masing ada di mata kami berfungsi dengan baik. Banyak yang bisa diceritakan bahkan dengan sekali melihat. Aku menunggu kaca mata itu terlepas dari matanya.
"Aku yakin ini bukan acara makan siang biasa, Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?" Dia memulai dengan melepas kaca matanya, menatapku dengan berani.
"Aku ingin memperingatkanmu untuk satu hal yang seharusnya memang tak perlu kau lakukan." Kulepas kaca mata dan menatapnya tajam. Dia tidak meperlihatkan reaksi tapi aku yakin dia mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
"Ini tentang, Yura ...."
"Istriku." Aku perlu mengingatkan dia, bukan?
"Ya, istri Anda yang berusaha berpura-pura bahagia." Dia menghela napas santai melayangkan pandangan pada orang-orang yang mulai berdatangan untuk makan siang.
"Jaga ucapanmu," bisikku tajam.
"Saya minta maaf bila membuat Anda tidak nyaman, tapi Yura adalah teman saya dan dia terjebak oleh pernikahan yang berkedok sempurna. Dia tidak tahu apa-apa bahkan untuk me ...."
"Kau bicara terlalu banyak. Memangnya apa yang kau tahu tentang kehidupanku dan Yura?" Mataku menyipit, menanti jawaban sebanyak apa yang dia tahu tentang pernikahan kami.
"Saya tahu sedikit tentang Anda, Pak. Jadi wajar bila saya mencemaskan Yura," balasnya tajam.
Bi Marni, dia menghianatiku dengan menceritakan hal ini pada orang lain. Kurang ajar sekali.