Prolog

6.8K 177 12
                                    

Mulutku menganga sempurna. Darah di tubuh rasanya sudah mendidih di ubun-ubun. Benar-benar gila, rumah centang perenang seperti kandang ayam. Sementara isi tudung saji kosong melompong seperti janji-janji anggota DPR. Istriku yang badannya geboy kaya tong penguin 2000 liter itu ngapain aja sih seharian? Rapat paripurna di Senayan? Apa ke rumah sakit nanya-nanya kalo sedot lemak itu kira-kira nyedotnya lewat mulut atau lubang telinga?

“Deb, Debby!” Aku berteriak agak kencang. Sambil menahan emosi di dada, aku mengempaskan diri di atas kursi makan. Menatap nanar pada meja makan yang tak tersaji barang sebutir nasi dan lauk pauknya tersebut.

“Iya, Mas.” Yang dipanggil datang tergopoh-gopoh. Tubuh gendut bak ikan fugu lagi disengat tawon itu menghampiriku dengan tampilan yang mengenaskan. Persis kaya korban tsunami yang nggak bisa ganti baju dan mandi dua kali sehari. Dasternya lusuh, bolong sana sini, mana keteknya keliatan pula. Belum cukuran, coba!

“Ini aku kira-kira disuruh makan apa?”

“Hehe, maaf, Mas. Tadi Syakir ama Syafa nangis terus. Satunya nggak mau lepas dari nenen, satunya rewel nggak mau bobo.” Perempuan yang dulunya kembang kampus itu berkelit. Debby yang baru saja lima bulan lalu melahirkan sepasang bayi kembar cowok dan cewek memang akhir-akhir ini selalu menjadikan anak kami sebagai alasan untuk kemalasannya. Ah, bilang aja dia seharian Cuma rebahan sambil main instagram. Kerjaannya ngetag akunku terus dan akun teman-temannya untuk ikut giveaway. Mending kalau hadiahnya Fortuner atau minimal Xpander. Lah, hadiahnya Cuma sabun bayi, minyak yang katanya dapat mengobati segala penyakit kecuali kemiskinan, dan aromaterapi yang katanya harganya mahal padahal kalau kamar mau wangi tinggal beli pengharum harga sepuluh ribuan juga bisa.

“Ah, kamu selalu ngejadiin anak kita alasan, Deb. Masak sana. Apa kek?” Aku merajuk. Setengah marah, kuempaskan lap motif kotak-kotak ke atas meja.

“Iya, iya. Bentar, ya. Kamu jagain si kembar tapi.”

Aku hanya berdehem. Enak banget si Debby. Malah kewajiban jaga anak pula yang dilimpahkan padaku.

Saat masuk kamar, dua bocah itu sedang bermain di kamar kami yang telah dipasangi pagar pengaman berwarna-warni. Lihat tingkahnya, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Baru saja aku masuk, dua beradik yang baru belajar tengkurap itu menangis kencang minta digendong.

“Aduh, kalian ini sama menyebalkannya dengan Debby, ya!” Aku mendengus sebal. Mengambil Syafa, si adik. Eh, Syakir malah semakin kencang menangis. Gusti, ini anak berdua pada kenapa, sih?

“Syakir diem! Papa nggak suka ya kalau kamu nangis-nangis nggak penting gitu!” Aku menunjuk pada bocah lelaki yang sedang berusaha untuk membalikkan badannya itu. Tubuh gempal nan montok bayi lelaki tersebut membuat dia kesulitan untuk kembali ke posisi terlentang. Bukannya diam, Syakir malah semakin menangis heboh. Dasar bayi, bisanya Cuma nangis sama berak. Sekali-kali papanya pulang pijitin, kek!

Karena jengkel mendengar tangisan Syakir, aku langsung menggendong bayi berkulit putih dengan rambut tipis kekuningan tersebut. Bayi berbobot hampir delapan kilo tersebut tertawa terbahak-bahak ketika berada digendonganku. Syafa yang juga kugendong dengan tangan kanan, malah sibuk menggapai-gapai wajah kembarannya.

“Deb, Debby! Cepetan! Ini bocah berdua berat banget kaya beras empat karung!” Dua bocah itu semakin beringas saat kugendong. Tangan-tangan jahilnya sibuk menjambak rambut dan jenggotku. Memang nggak bakat aku numbuhin jenggot kaya Tengku Wisnu. Baru tumbuh seiprit aja sudah 'dibegal' sama si kembar.

“Mas, sini-sini si kembar sama aku. Kamu makan dulu, gih.” Debby tergopoh mendatangiku. Perempuan itu buru-buru mengambil kedua bayinya. Dengan sekali angkut, si kembar tenang dan super kalem dalam dekapan mamanya.

“Cepet banget, Deb? Kamu masak atau sulap?”

“Hehe, gih, sana. Kasihan, kamu pasti laper, kan?” Debby tersenyum manis, menyisakan gurat-gurat kecantikan masa lalunya. Jika tahu kalau Debby bisa sebesar tandon air begini, mungkin aku pikir-pikir dulu untuk menikahinya. E, tapi, gara-gara dia aku bisa punya anak kembar. Biar pun bikin jengkel, Syakir dan Syafa itu lucu banget dan bikin orang-orang gemas melihatnya. Sedikit banyak aku jadi berbangga hati juga sih punya anak kaya mereka.

Cepat aku melangkah ke ruang makan. Kutinggalkan ketiga ibu dan anak itu bermain di kamar. Baru saja aku duduk di kursi makan dan membayangkan menu nikmat untuk makan siang, aku terkaget setengah mati. Bagai disambar petir di tengah hari bolong, sumpah rasanya sakit banget ini! Tolong pemadam kebakaran, kalau bisa datang ke sini untuk memadamkan api amarahku!

“Debby! Ini kamu masak mie masih keras gini! Mie-nya Cuma kamu seduh pakai air dispenser?!” Setengah mati aku kesal dibuatnya. Terdengar suara cekikikan dari dalam kamar sana. Awas kamu ya, Deb! Kubuat perhitungan nanti!

(Bersambung)

Istri Yang Tak Lagi DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang