Bagian 3

1.5K 189 39
                                    

"Junia Tsabita," Juni berdiri ketika namanya dipanggil.

Hari ini, Juni kembali menemui dokter Elsa yang selama ini membantunya melakukan terapi untuk mengatasi traumanya. Sejak kejadian pemerkosaan yang membuat Juni seringkali kedapatan menyakiti diri sendiri, Pertiwi memang beberapa kali membawa putrinya itu menjalani terapi untuk mengobati rasa trauma yang dialami, sebelum kemudian Juni meninggalkan rumahnya.

***

Juni masuk dalam ruangan yang suasananya cukup menenangkan. Terakhir, hampir tiga bulan lalu dia menginjakkan kakinya disini. Ruangan ini pun masih nampak sama, bahkan aromaterapi yang tercium masih aroma yang sama.

Juni menatap kedepan. Disana, nampak seseorang masih berkutat pada berkas didepannya.

"Pagi, Ibu Elsa." Juni menyapa seorang Psikiater paruh baya yang selama ini membantunya.

"Juni." Tersenyum menyembunyikan raut terkejut saat melihat Juni kembali menemuinya, Dokter Elsa berdiri dan memeluk Juni. Selama ini, dia telah menganggap Juni seperti anaknya sendiri. Sejak awal bertemu dan mengenal Juni, ia bertekad membantu Juni untuk sembuh dari trauma yang dialami.

Setelah berbincang sejenak, Juni mulai menjalani terapi. Sesi kali ini, dokter Elsa menyarankan agar Juni melakukan psikoterapi ulang serta memberikan anti depresan sebagai upaya mengatasi mimpi buruk yang dapat memperburuk traumanya.

***

"Terimakasih Ibu Elsa," ucap Juni setelah sesi psikoterapi hari itu selesai dia lakukan.

"Sama-sama Juni. Usahakan untuk tidak menyangkal apapun yang datang dari masa lalu. Cobalah berdamai, " Dokter Elsa mengusap lembut pundak Juni, memberi nasehat serta dukungan seperti seorang ibu kepada anaknya.

"Baik Ibu, Juni akan berusaha." Hanya pada Ibu Elsa-nya dia percaya untuk mengungkapkan semua yang dia rasa.

"Ma!" Suara seorang pria mengalihkan perhatian mereka.

"Rey! Berapa kali Mama bilang untuk sabar?" Dokter Elsa memberi lirikan tajam pada putranya, Alfarezel Arfan yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu.

"Ampun, Ma. Rey lupa. Rey buru-buru." Rey memberikan cengiran pada dokter Elsa.

"Eh? Juni bukan ya?" Rey mulai menyadari keberadaan orang lain yang juga berada dalam ruangan ibunya.

Juni hanya membalas dengan senyum tipis serta anggukan kepala. Selama terapi, dia beberapa kali bertemu dengan pria di depannya ini. Juni tidak pernah mengenal Rey secara langsung, hanya beberapa kali Ibu Elsa menceritakan tentang anaknya saat ada kesempatan mengobrol.

***

"Udah lama?" Seorang pria dengan perawakan tinggi serta berkulit putih mendekat serta bertanya pada Rey.

"Lumayan ... Gimana? Udah siap ketemu Mama?" Rey bertanya pada pria tersebut.

Pria tersebut nampak menghirup udara dalam kemudian menghembuskan napas, lalu terlihat menganggukkan kepalanya.

Rey berdiri lantas mengambil koper yang berdiri disamping kaki pria tersebut, kemudian melangkah menuju mobilnya yang terparkir. Dari belakang, pria tersebut mengikuti dan mengamati Rey yang kini semakin dewasa dengan pandangan bersalah. Sudah lama mereka tak saling bertemu, hanya sesekali berkomunikasi untuk bertukar kabar serta bertanya mengenai ibunya.

Lima tahun, pria itu meninggalkan ibunya. Dan kini dia kembali, dengan membawa setumpuk penyesalan. Gentala Biantara, Bian. Pria yang penuh ambisi, dia rela meninggalkan ibunya demi cinta yang kini tak dapat lagi diraihnya.

***

"Ma," Juni menatap bingkai foto di atas nakas.

Sebenarnya dia sangat merindukan masa bahagia bersama sang Mama. Namun saat kakinya menginjak rumah itu, segala kenangan berputar seperti terulang kembali. Terlebih jika melihat sosok mungil yang tempo hari dilihatnya lagi. Juni menyerah, lagi-lagi menyerah. Kesakitan di masa lalu kembali terbuka dan menghantuinya.

Andra, sudut hati kecil Juni mengatakan bahwa bocah itu tak bersalah. Namun, wajah anak itu selalu mengingatkannya pada malam kelam yang mencabut paksa semua mimpinya.

Teringat ucapan dokter Elsa, dia akan berusaha sekali lagi untuk berdamai dengan masa lalunya. Memaafkan dan menerima. Dua kata sederhana yang butuh perjuangan untuk mewujudkannya.

Saat terlarut dalam pikirannya, ponsel Juni berkedip menandakan panggilan masuk.

"Mama," gumam Juni saat ID penelepon menampilkan kata Mama.

Tidak biasanya mama meneleponnya saat hampir tengah malam seperti ini. Entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak. Bergegas dia mengangkat panggilan mamanya.

"Ha ... lo," Juni berbicara dengan ragu.

"Juni, Andra .. Jun. Hiks." Terdengar isak tangis Mamanya dengan menyebut nama Andra.

"..." Juni mematung tanpa tahu harus bagaimana.

"Andra masuk Rumah Sakit. Dia demam tinggi sehari semenjak terakhir kalian bertemu. Kata dokter trombositnya menurun drastis. Mama mohon kamu pulang Jun. Hiks." Isakan Pertiwi yang semakin menjadi, menyadarkan Juni.

"Iya, Ma." Entah kenapa hanya kata itu yang muncul dari mulut Juni. Mendengar Andra sakit, tanpa dia tahu kenapa, sudut hatinya merasa nyeri.

"Terimakasih, Nak. Mama tunggu kamu di sini. Semoga dengan adanya kamu, Andra akan bersemangat kembali."

Sesaat kemudian layar ponsel yang sejak tadi dalam genggamannya menggelap. Namun mata Juni tak lepas dari layar ponselnya.

"Sanggupkah aku?" Juni bergumam dengan nafas memburu serta mata yang mulai memburam yang dengan berkedip meluncur deras air matanya.

...

Juni Tanpa Mimpi (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang