Part 12. Mengikuti Alur

11 2 0
                                    

Ekspetasi tak pernah sejalan dengan realita. Seperti ucapan yang tak pernah sejalan dengan kata hati. —Adhyasta Haris

“BANG, nanti bayarin novel gue yaa.”

Mirza membuntuti Haris yang sedang memakai kaus. Jadwal malam ini, adalah pergi ke gramedia menemani Mirza membeli novel detektif conan. Haris juga butuh beberapa buku gambar dan pensil untuk menggambar.

Ck. Gampang itu mah,” tutur Haris. “Pake item atau abu-abu, Ja?” Haris mengangkat dua, kaus hitam dan kaus abu-abu.

Mirza yang sekarang sedang rebahan di atas kasur Haris, mengangkat kepalanya. “Abu-abu aja. Tapi terserah lo sih,” ucap Mirza. Adiknya—Mirza sudah fasih mengucapkan bahasa Indonesia, berkat bergaul dengan teman sebayanya.

“Oke.” Setelah memakai kaus berwarna abu-abu, dan melapisinya dengan hoodie maroon. Haris meraih kunci motor vespa-nya. “Cepetan, Ja.”

Suasana rumah Haris sepi, karena Mami dan Papinya dinner. Kata Sera—Maminya Haris, Sera ingin berdua saja dengan Gilang—Papinya Haris.

“Kuy!” Mirza membonceng Haris.

Haris mulai meninggalkan pekarangan rumahnya. Di perjalanan menuju gramedia, pikiran Haris jadi melayang ke berbagai hal. Memikirkan yang lalu dan yang sekarang. Lelah, itulah yang dirasakan Haris. Orang-orang berpikir, pasti hidup Haris sangat bahagia. Namun, semua ekspetasi orang selalu salah dengan yang sebenarnya.

Sesampainya di gramedia, Mirza lebih dulu masuk. Haris mengikutinya dari belakang, membetulkan rambutnya yang berantakan. “Lu mau beli apa aja sih, Ja?”

“Kan gue udah bilang, gue pengin beli novel detektif conan, komiknya sekalian, sama TTS.”

“Auto missqueen gue,” gumam Haris. Lelaki itu juga mengambil satu buku yang berisi kumpulan puisi dari rak, lalu mengembalikannya lagi. “Gue mau beli buku gambar dulu,” pamitnya.

“Yang penting gue jangan ditinggal.”

Haris memasukan kedua tanganya ke saku hoodie, berjalan ke rak-rak yang menyediakan berbagai macam peralatan sekolah. Netra Haris menyapu sekitarnya, saat menengok ke arah kanan. Tidak sengaja dirinya melihat Fely. Gadis itu tidak sendiri, melainkan bersama ... Adnan.

Haris tidak berpikir untuk mendekati kedua, ia hanya melihat dari jarak jauh. Keduanya nampak bahagia, apalagi Fely yang terus melebarkan senyumnya.

“Apa gue harus jadi Adnan supaya lo bisa lihat gue...” gumam Haris.

Keduanya sedang berdiri di rak buku yang berisi latihan soal-soal, yang jaraknya empat rak dari Haris berdiri sekarang.

“Lebih baik lo jadi diri sendiri.” Mirza masih dapat mendengar gumaman Haris, berdiri tepat di samping Haris. Tinggi keduanya sebentar lagi hampir sama. Netra Mirza juga ikut melihat Fely dan Adnan.

“Berubah kan perlu,” kata Haris.

“Iya emang perlu. Tapi, lo gak perlu berubah kalau itu bikin lo gak nyaman. Lo hanya perlu jadi diri lo sendiri, apa adanya,” tutur Mirza. “Cewek lebih suka sama cowok yang jadi dirinya sendiri, tanpa perlu jadi orang lain.”

Haris membenarkan perkataan Mirza. Tapi, Fely bukan gadis yang Mirza bilang. Fely gadis berbeda, lebih suka cowok yang berbeda. Itu yang dirasakan Haris, entah itu benar atau salah.

“Tumben lo bijak, Ja.”

“Hasil berteman sama orang-orang smart,” ucap Mirza membanggakan dirinya.

AdiosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang