❝Aku siap untuk jadi seseorang yang kamu butuhkan, di kala kamu sedih.❞
—Adhyastha Haris№
BINGUNG. Itulah yang dirasakan Haris, pasalnya tadi sore tiba-tiba saja Fely datang ke rumahnya sambil memaki-maki dan menangis pula. Kedua sudut bibir Haris terangkat, tersenyum tipis mengingat dirinya memeluk Fely. Sesegera mungkin mengenyahkan pikiran yang tak mungkin terjadi di otaknya.
Setelah memakai hoodie hitam, Haris berjalan keluar dari kamar menuju ruang tengah. Malam ini, ia berniat mentraktir Fely samyang. Agar gadis itu tidak sedih lagi. Sesampainya di ruang tengah, Haris melihat Gilang—Papinya. Ia berjalan mendekati Gilang.
“Papi! Bagi duit dong!”
Gilang yang tengah asyik menonton televisi, mendongak menatap Haris yang berdiri menjulang. “Mau buat apa?”
“Mau buat makan di luar, Pi.”
Lelaki paru baya itu merogoh saku celana jeans pendeknya, mengeluarkan selembar uang berwarna merah. “Nih, cukup enggak?”
“Hehe. Cukup banget, Pi,” ucap Haris. “Makasih, Pi.”
“Yoi. Mau makan di luar sama siapa?”
“Fely, Pi.” Haris mengantongi uang berwarna merah itu, lalu berpamitan pada Gilang. “Haris pergi dulu, Pi.” Lelaki itu menarik langkah pergi, menuju rumah Fely.
Sesampainya di rumah Fely, Haris sudah bertanya pada Keyla—Bunda Fely di mana Fely berada. Kata Bunda, Fely di kamar sejak pulang sekolah. Haris bergegas menuju kamar perempuan itu, mengetuk pintu kamar Fely agak keras.
“Fely! Lu tidur apa kagak?” teriak Haris.
“Fely!”
“Felysia Alien. Yuhu!!”
“Fely lu—”
“Brisik tai!!”
“Gue masuk yaa, Fel!”
“Serahh!”
Tangan Haris mendorong gagang pintu. Saat memasuki kamar Fely, gadis itu tidur di ranjangnya, dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. “Lu sakit ya?” Tangan Haris menarik selimut itu sampai batas leher. Gadis itu tidur dengan posisi menyamping. Yang membuat janggal, mata Fely sembab.
“Fely,” panggil Haris sekali lagi. “Lu kenapa dah?”
“Nggak apa-apa,” ucap Fely dengan nada serak khas orang menangis.
“Tumben banget lu sedih,” ujar Haris heran. “Eh, makan samyang yuk. Gue abis minta duit sama bokap nih, mayan buat makan samyang di depan kompleks.”
“Males ah.”
“Harus mau!” Dengan tak ada akhlaknya Haris menarik paksa.
Akhirnya Fely menurut saja. Gadis itu menatap tangannya yang terus digandeng Haris sampai keluar dari rumah.
Haris tersenyum tipis, untung saja Fely tidak berontak saat tangan gadis itu Haris genggam. Jalanan yang mereka berdua lewati lumayan sepi, beberapa lampu di halaman depan rumah menyala sebagai penerangan para pejalan kaki atau pengendara motor.
Sesampainya di pedagang kaki lima yang menjual sajian samyang, Haris memesan dua porsi samyang pada penjual laki-laki itu. Lalu mengajak Fely duduk di bangku panjang yang berisi beberapa orang yang juga memesan makanan yang sama.
“Ngapain lo ngajak gue makan samyang?”
“Iya sayang, kenapa?” goda Haris, tersenyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adios
Teen Fiction**** Ini kehidupan yang baru bagi seorang Fely. Kedatangan tetangga barunya itu mampu membuat hari-harinya terasa berjalan lebih menyenangkan untuk bersikap bar-bar dari yang ia lakukan sebelumnya. Apalagi sikap Haris yang terkadang membuat perasaan...