Prologue

121 37 2
                                    

Dyra langsung ke halaman belakang rumah ketika tahu ibunya sedang sibuk mengurus tanaman di sana. Ia berjalan menghampiri Hana begitu terlihat olehnya sang ibu sedang asyik menyiram tanaman seraya bersenandung kecil mengikuti irama musik dari radio. Dyra menarik napas perlahan, dalam hati ia meyakinkan diri bahwa ia bisa melakukan ini. Ia kini sudah besar, tak seharusnya diam dan menerima saja. Ia harus bisa membuat keputusan sendiri.

Dyra mengambil selang yang dipegang oleh ibunya menggantikan Hana menyiram tanaman.

Melihat tingkah Dyra, Hana langsung tahu bahwa ada sesuatu yang ingin Dyra katakan pada dirinya. "Ada apa?" tanya Hana seraya mematikan radio.

"Semester ini jadi penentuan jurusan, Mama tahu, kan?" Hana diam. "Aku nggak mau ambil kelas ilmu alam."

"Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"

"Nilaiku nggak akan cukup, Ma."

"Tapi masih bisa tes, kan?"

Hana berjalan mematikan keran lalu mengambil selang yang dipegang oleh Dyra dan meletakkan pada tempatnya.

"Iya, tapi aku mau ambil kelas ilmu sosial."

"Gytha gimana? Papa kamu tahu soal ini?"

"Nilai Gytha cukup. Dia bisa langsung masuk kelas ilmu alam tanpa tes. Kita juga nggak harus selalu..." tiba-tiba terdengar pintu belakang dibuka oleh seseorang yang kemudian menghampiri mereka berdua.

Yoga datang membawa buku lalu memberikannya kepada Dyra. "Papa beli dua, satunya kasih ke Gytha."

"Aku mau ambil kelas ilmu sosial."

Yoga yang tadinya akan kembali masuk ke dalam rumah langsung menoleh dengan tatapan yang melotot.

"Nggak boleh. Kamu harus ambil kelas ilmu alam biar bisa kuliah kedokteran."

"Tapi Pa, nilaiku nggak cukup buat masuk ke sana. Walaupun tes aku nggak akan lulus. Aku juga nggak ada minat buat kuliah kedokteran. Aku nggak suka Matematika, Biologi, Fisika, apalagi Kimia," bantah Dyra.

Yoga berjalan mendekati anaknya kemudian memegang bahu Dyra seraya menatap matanya. Yoga menghela napas, ia dapat melihat bahwa anaknya ini memang sedang tidak bercanda.

"Gytha bisa dan mau. Jadi, kamu juga harus bisa dan mau. Kalian harus jadi dokter kayak anak Mang Sasmi si Aldo. Kalian juga udah les sana sini, kita udah keluar uang banyak," balas Yoga tak mau kalah dari Dyra.

Hana yang menyaksikan hanya bisa diam seraya mengusap pundak Yoga mencoba menenangkan suaminya.

"Aku bukan Gytha, kita beda," Dyra menghela napas, tak kuasa menahan air mata yang sebenarnya sudah siap akan jebol kapan saja. "Sekali aja, Pa. Aku nentuin masa depanku sendiri. Selama ini aku selalu nurut aja apa kehendak Papa atas diri aku."

"Papa nggak nuntut lebih. Papa cuma mau kamu sama Gytha sukses kalau Papa dan Mama udah tua."

"Aku bisa sukses dengan caraku sendiri." Dyra mendongakkan kepala menatap mata ayahnya untuk meyakinkan bahwa ia bukan anak kecil lagi yang harus selalu diarahkan pada sesuatu hal yang bukan keinginannya.

Nada suara Yoga meninggi. "Mau jadi apa kamu masuk kelas ilmu sosial? Anak-anaknya itu dikenal nakal dan bodoh. Kamu mau Papa dan Mama diejek orang karena nggak bisa ngarahin hal yang baik ke kamu?"

"Anak ilmu alam ataupun sosial akan selalu ada yang kayak gitu, Pa. Tergantung kita nyikapinnya. Aku janji nggak akan terpengaruh sama hal buruk," jawab Dyra.

Yoga semakin kesal. Jika diteruskan mungkin saja ia akan luluh dengan tatapan Dyra yang sekarang.

"Coba kamu tes dulu Papa yakin kamu masih bisa masuk kelas ilmu alam. Tolong jangan kecewakan Papa dan Mama."

Ia tak mau memperpanjang perdebatannya dengan Dyra dan langsung menyingkirkan tangan Hana dari bahunya. Yoga pergi meninggalkan Dyra dan Hana yang masih terpaku dengan jawaban yang berujung tetap pada keinginannya.

Hampir satu bulan Dyra mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini namun tetap saja gagal untuk mengubah kehendak Yoga. Semalam ia sudah menyiapkan jawaban terbaik untuk berjaga-jaga apabila Yoga tetap kekeh pada keinginannya. Tetapi nyatanya ia tetap tak bisa mengutarakan semuanya dan itu hanya akan menjadi sautan-sautan sendiri dalam kepalanya nanti.

Hana juga tak bisa membantu Dyra, karena ini memang sudah menjadi rencananya dengan Yoga sejak lama untuk masa depan anak mereka.

Hana mengusap kepala Dyra. "Kamu tuh sekarang kalo dibilangin selalu jawab."

"Ada jawabannya," balas Dyra.

"Kamu bisa bicarain ini lagi nanti kalau Papa udah tenang. Maaf, Mama nggak bisa bantu kamu."

Gantian Hana yang kemudian meninggalkannya.

Dyra sudah tahu dari awal percuma berbicara kepada sang ibu. Meskipun ibunya setuju pasti harus tetap minta persetujuan ayahnya dulu. Begitulah Hana layaknya istri yang selalu taat pada suaminya. Dyra tak bisa menyalahkan Hana karena memang sudah seharusnya begitu. Dan mau tak mau, ia harus tetap tes dengan baik hari senin nanti jika tak mau mendapatkan amukan dari ayahnya.

***

Reach For A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang