"Tettt..." Bel pulang sekolah yang berbunyi langsung disambut dengan seruan oleh para siswa. Dyra yang tengah membereskan buku-buku di atas meja untuk dimasukkan ke dalam tas langsung berhenti ketika Regi menghampiri dan mengatakan bahwa ia dan Gytha dipanggil Anita ke ruang BK. Sudah sejak hari pertama pada bulan kedua, para siswa dipanggil secara acak ke ruang BK untuk mengetahui kelanjutan mengenai konseling yang mereka lakukan semester lalu. Dan hari ini akhirnya giliran Gytha dan Dyra yang dipanggil.
Sepanjang perjalanan, Dyra memantapkan diri jika memang kemungkinan kabar buruk yang akan ia dapatkan dirinya tak akan berkecil hati. Saat sampai, Gytha dan Dyra berbarengan mengetok pintu kaca Ruang BK kemudian masuk setelah mendapat anggukan dari gurunya. Begitu dipersilakan, keduanya langsung duduk menghadap Anita.
"Kakaknya atau adiknya dulu nih?" tanya Anita seraya membolak-balikkan amplop memastikan bahwa itu milik keduanya.
"Gytha aja dulu, Bu," jawab Dyra. Menurutnya Gytha akan mendapatkan kabar baik maka harus menjadi yang pertama untuk didengar.
Anita mengangguk.
"Ibu mau tanya dulu. Bagaimana Gytha mengenai kuliah ke luar negeri?"
"Kemungkinan nggak jadi, Bu. Papa sama Mama bilang pas ambil S2 aja baru ke luar."
"Pas banget kalau gitu. Ini," Anita menyerahkan amplop putih yang ia pegang pada Gytha. "Selamat, ya," ucap Anita seraya mengulurkan tangannya lalu mereka bersalaman.
Gytha masih diam tak mengerti begitu pun juga Dyra.
"Kamu dapat beasiswa full dari FKUI," kata Anita membuat Dyra dan Gytha langsung berpelukkan.
Selama tiga tahun berturut-turut, Gytha selalu mendapatkan juara olimpiade UI. Sehingga pada lomba tahun kemarin ia diminta naik ke atas panggung dan mendapatkan hadiah langsung dari rektor UI berupa jalur tanpa tes untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gytha benar-benar ingin menjadi dokter yang berkompeten, karena itu ia sangat senang ketika tahu akan berkuliah di salah satu kampus terbaik di Indonesia. Namun setelahnya ia sadar, bahwa kuliah kedokteran itu tidak murah maka ia memutuskan untuk mengajukan beasiswa agar tak membebani orangtuanya. Dan sekarang semua itu terwujud, ia mendapatkan beasiswa dan jurusan yang dirinya dan orangtuanya harapkan.
"Sekarang kamu," kata Anita. Dyra yang tadinya tersenyum langsung merubah mimik wajahnya. Jika memungkinkan Dyra ingin kabur saat ini, ia benar-benar takut dirinya akan kecewa.
"Selamat Dyra, kamu keterima di Asride ISWI Jakarta," ucap Anita yang membuat Dyra dan Gytha langsung tersenyum sumringah. "Tapi..." Anita menyerahkan amplop putih yang ia pegang pada Dyra. "Nggak ada beasiswa." Dyra terdiam.
"Kampus lainnya, Bu?" tanya Gytha. Dyra pernah bercerita pada Gytha bahwa ia mencoba beberapa kampus untuk mendapatkan beasiswa.
Anita menggelengkan kepalanya pelan.
Dyra hancur saat itu juga. Ia kecewa namun tak terkejut ataupun sedih. Secara logika, memang tak mungkin baginya untuk mendapatkan beasiswa jika kerja kerasnya baru saja dimulai. Dyra menyadari bahwa salah telah memaksakan diri mengejar ambisi tanpa persiapan yang matang.
"Kalau gagal sekali bukan berarti gagal berkali-kali. Kamu nggak harus ambil ini, kalau mau coba yang lain silakan," kata Anita membuat Dyra tersadar lalu mengucapkan terima kasih setelah terdiam cukup lama.
"Ibu tahu kamu kecewa, tapi apa kamu nggak bersyukur diterima di salah satu sekolah fashion terbaik di Indonesia?" tanya Anita membuat Dyra terperenjat.
Ia langsung menggoyangkan tangannya mengatakan 'tidak'.
Dyra sangat bersyukur masih ada kampus yang mau menerimanya. Apalagi ia diterima di salah satu kampus yang sudah banyak sekali mengeluarkan Fashion Designer terkenal di Indonesia. Namun sesuai peribahasa, "Ada rupa ada harga". Membuatnya benar-benar mengkhawatirkan masalah biaya saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reach For A Dream
Fiksi RemajaLahir bersama orang yang jauh lebih baik darinya membuat Dyra diperlakukan berbeda oleh lingkungan. Ia merasa dituntut untuk harus jadi sempurna namun tak pernah diizinkan untuk menentukan jalannya sendiri. Pernah mencoba untuk berdamai tetapi ia ma...