Hari ini sudah memasuki bulan ketiga pada semester satu di kelas tiga. Dyra semakin malas menghadapi kenyataan bahwa masih butuh kurang lebih satu tahun lagi baginya untuk keluar dari kelas ilmu alam. Dyra tak bisa memungkiri bahwa otaknya memang saat itu masih mampu untuk menghadapi tes masuk kelas ilmu alam. Bahkan dirinya satu kelas lagi dengan Gytha sampai tahun terakhirnya di SMA. Takdir memang sepertinya akan selalu membuatnya berada dekat dengan Gytha entah sampai kapan.
Sebenarnya bisa saja ia melaksanakan tes dengan asal-asalan agar bisa langsung masuk kelas ilmu sosial. Namun semua itu percuma, karena sang ayah pasti akan mengecek ke sekolah untuk memastikan. Jika Yoga tahu bahwa nilainya memang tak cukup bukan hanya dirinya saja yang akan dimarahi tetapi ibunya juga pasti akan kena.
Awalnya Dyra mencoba berdamai dan menerima untuk menghabiskan masa SMA-nya di kelas ilmu alam, namun tak sampai satu tahun rasanya ia sudah malas. Semua ini dikarenakan ia tertekan dan menjalankannya setengah hati. Bukan hanya itu, terkadang ia juga tak sanggup untuk menangkap pelajaran dan juga bersaing dengan banyak teman kelasnya yang ambis. Tetapi karena tahu ayahnya tak akan mengizinkannya keluar dari kelas ini, membuat dirinya mau tak mau harus tetap di sini meskipun tahu ia hanya akan menghabiskan waktunya dengan percuma.
Dyra berjalan menyusuri koridor. Masih sangat sepi dan sunyi. Tentu saja, karena ia memang berangkat pagi sekali untuk menghindari pertemuan dengan Yoga. Hampir setiap pagi saat di meja makan Dyra seperti disidang oleh Yoga bukan sarapan yang sebagaimana mestinya.
"Kamu itu seharusnya belajar! Coba lihat Gytha..."
"Gytha tanpa les bisa. Kamu yang udah les kok nggak bisa..."
"Belajar itu yang serius, jangan habisin waktu kamu cuma buat menggambar aja..."
Kira-kira seperti itulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut ayahnya setiap pagi.
Dan pagi ini Dyra tahu betul bahwa ayahnya pasti akan membanding-bandingkan dirinya dengan Gytha lagi. Kemarin saudaranya itu meraih juara OSN mewakilkan Everdeen High School bersama anak-anak pintar lainnya. Sebenarnya sudah sering ia diperlakukan seperti ini. Tetapi saat ini mood-nya benar-benar sedang tidak baik untuk menghadapi sang ayah.
Semalam Hana mengatakan bahwa Yoga ingin Dyra tetap mencoba jalur tes masuk fakultas kedokteran lantaran sudah tahu bahwa nilai Dyra tak akan cukup jika mencoba jalur prestasi. Hal itu membuat Dyra kesal setengah mati sampai tak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Ia sampai tak ingin melanjutkan gambarannya dan memilih untuk tidur setelah Hana keluar dari kamarnya.
Tak mau ambil pusing dengan pikirannya saat ini, Dyra memilih untuk segera masuk kelas agar bisa menyelesaikan PR Biologi yang diberikan oleh gurunya minggu lalu. Baru saja akan membuka pintu kelas, ponselnya berbunyi. Dyra meraih benda itu dari sakunya.
Mama : Kenapa nggak sarapan dulu?
Dyra tak langsung membalas, ia malas membalas pesan ini. Seharusnya Hana sudah tahu alasannya.
Dyra : Aku belum selesain tugas, Ma.
Memang itu adalah salah satu alasannya. Begitu chat-nya terkirim, ponselnya kembali berbunyi. Balasan dari Hana muncul dalam beberapa detik.
Mama : Jangan lupa nanti jam istirahat makan.
Dyra hanya membaca pesan tersebut, ia memilih untuk tak membalas. Sejujurnya Dyra sangat bersyukur sekali meskipun dirinya tak dekat dengan sang ayah tetapi ia masih memiliki ibu yang sangat perhatian dengannya. Kemudian ia kembali membuka pintu kelas dan betapa leganya ketika mendapati kelas masih kosong.
***
Jam istirahat, Dyra menolak ajakan Gytha ke kantin untuk makan bekal yang sudah dibawakan oleh Hana untuk mereka. Bukannya tak lapar, hanya saja ia sedang malas untuk melakukan kegiatan apapun hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reach For A Dream
Novela JuvenilLahir bersama orang yang jauh lebih baik darinya membuat Dyra diperlakukan berbeda oleh lingkungan. Ia merasa dituntut untuk harus jadi sempurna namun tak pernah diizinkan untuk menentukan jalannya sendiri. Pernah mencoba untuk berdamai tetapi ia ma...