Segelas kopi panas yang asapnya masih mengepul terletak di atas meja di tengah Ruang BK. Yoga sudah duduk menghadap Anita sekarang. Kurang lebih 3 hari, ia telah merenungkan atas semua sikapnya pada keluarganya selama ini. Dan hari ini Yoga memutuskan untuk datang ke sekolah sendirian sementara Hana ia minta untuk mengawasi restoran saja.
Saat ini Anita sangat gugup. Perawakan Yoga dengan tubuh yang tinggi, bahu lebar dan mata tajam membuatnya takut setengah mati. Bahkan awalnya ia tak menatap mata Yoga. Namun setelah menarik napas dan memberanikan diri ia menjadi tak takut lagi.
"Perkembangan Dyra... bagaimana, Bu?" tanya Yoga membuka pembicaraan.
Anita yang tadinya hendak memberikan amplop milik Gytha dan Dyra mendadak mengurungkan niatnya. Ia diam sesaat, menatap Yoga lagi. Menurutnya saat ini mungkin Yoga sedang mengulik Dyra darinya.
"Dyra Baik, Pak. Ia sudah tak pernah lagi membuat masalah bahkan para guru mengatakan akhir-akhir ini ia sangat aktif dalam belajar," jawab Anita dan Yoga hanya mengangguk.
Melihat Yoga yang terkesan diam saja membuat Anita bertanya-tanya saat ini. Ia berpikir orangtua Dyra akan marah-marah pada dirinya, namun ternyata dugaannya salah.
"Meskipun sepertinya terlambat tapi Dyra mengalami perubahan yang cukup baik. Awalnya banyak teman sekelasnya yang mengatakan bahwa Dyra orang yang menutup diri tapi semakin hari dia berubah menjadi pribadi yang lebih baik untuk orang sekitarnya," jelas Anita lagi.
Yoga hanya tersenyum dan mendengarkan.
"Saya ini guru baru, Pak. Dan awal bertemu pun Dyra tidak seperti sekarang. Saya merasa dia itu kesepian," ungkap Anita.
Kali ini Yoga menjadi lebih serius mendengarkan.
"Waktu pertama kali melakukan konseling Dyra langsung menceritakan masalahnya. Sepertinya selama ini tak ada yang mau mendengarkannya," Yoga mengerutkan dahi. "Saya dapat melihat bahwa selama ini ia marah, kecewa dan juga sedih. Menurut saya semua perilaku salahnya adalah luapan emosi atas semua sikap yang ia terima selama ini. Merasa dituntut untuk harus sempurna membuat ia menjadi begini. Tapi Dyra tetap mengaku bahwa ia menyesal atas semua tindakannya selama ini." jelas Anita lagi
"Apa Ibu tahu bagaimana mengecewakan nilai Dyra selama ini?" tanya Yoga.
Anita mengangguk. "Saya yang menawarkan diri untuk mencarikan kampus untuknya. Jadi saya tahu setelah melihat transkip nilainya saat kelas 10 dan 11. Memang cukup mengecewakan jika dibanding dengan prestasi saudaranya, Gytha."
Yoga menjetikkan jarinya membenarkan.
"Tapi kalau kita lihat ke bawah sebenarnya ada yang jauh lebih buruk daripada Dyra, Pak," ucapnya lagi.
Yoga terkekeh. "Siapa yang lebih buruk darinya, Bu? Dyra bahkan nggak pernah ranking. Dia selalu berada di urutan terakhir. Untuk naik ke sepuluh besar saja mungkin sulit menurutnya."
"Sistem ranking itu hanya dibuat oleh manusia, Pak. Bapak tahu kan Dyra selama ini punya bakat?" tanya Anita. "Bakat yang Dyra miliki itu ciptaan Tuhan. Kalau saja Bapak mendukung dia selama ini, mungkin dia akan baik-baik saja dengan pendidikannya."
Yoga hanya diam. Anita benar-benar mengutuk dirinya dalam hati, ia tak tahu bagaimana bisa selancar ini untuk mematahkan perkataan Yoga. Sementara Yoga benar-benar merasa dirinya memang salah selama ini. Anita sudah menjadi orang kesekian yang memojokkannya.
Anita kemudian menyerahkan amplop Ghyta dan Dyra pada Yoga. "Apa Bapak sudah dapat kabar dari Gytha dan Dyra?"
Yoga mengangguk setelah melihat nama kampus yang tertera pada amplop.
![](https://img.wattpad.com/cover/227801361-288-k318675.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reach For A Dream
Подростковая литератураLahir bersama orang yang jauh lebih baik darinya membuat Dyra diperlakukan berbeda oleh lingkungan. Ia merasa dituntut untuk harus jadi sempurna namun tak pernah diizinkan untuk menentukan jalannya sendiri. Pernah mencoba untuk berdamai tetapi ia ma...