Pesan dari Dioscuri [ R + B ]

205 17 6
                                    


Tangannya terbakar lagi.

"Kau tidak apa-apa?!"

Gadis itu spontan menyembunyikan lukanya, suatu kebiasaan yang buruk menurut orang lain, bila kau menderita janganlah kau pendam sendiri. "Tidak apa, kok."

"Bodoh! Jelas-jelas berasap begitu— ah, sini, tunjukkan, cepat!" pemuda itu mengamati lukanya sekilas, menyadari betapa parahnya, lalu dengan panik bergegas mengutak-atik tas perbekalan mereka, sementara pemuda yang satunya lagi menyuruh sang gadis untuk duduk. Menepuk kepalanya lembut.

"Hebat, tidak nangis ya."

Si gadis menggembungkan pipi. "... Aku kan bukan anak-anak lagi."

Pemuda itu tertawa. "Jangan sok kuat kau, selamanya juga kau tetaplah seorang bayi di mataku."

Si gadis memalingkan muka, kesal, tapi senang juga?

"Haha, bayi." Pemuda yang lain, setelah menemukan perban dan obat yang dia cari, langsung ikut parade mengejek si adik.

Anak tertua dengan cepat menambahkan. "Kau juga, Blu. Bayi."

"Hah? Bilang apa tadi?" anak tengah menyikut si sulung dengan tajam, membuatnya tersungkur sambil menahan geli. Menabrak sesuatu hingga berantakkan.

Anak termuda ingin tertawa, menggerakkan tangannya untuk menutup mulut, ia nyaris lupa bila saja si luka tidak berteriak keperihan.

"Jangan bergerak! Sini, tangannya!" si tengah menuntut. Si bungsu menurut, memberikan tangannya yang makin berdenyut tiap angin kecil lewat menerpa.

Kakak pertama mendekati tiga tumpuk semacam alat biru dengan dua pegangan yang dapat ditarik, di sekitarnya ada medal-medal kristal yang berserakan, ia merapikannya satu persatu, memasukkannya ke kotak bingkai. "Grigio, sebaiknya... kau jangan berubah menjadi 'itu' lagi." Ia berkata, diam sejenak dengan suatu kristal merah di tangan. Sosok seekor monster menyerupai makhluk purba berwarna merah dan hitam tergambar. Si monster tulang api.

"Tapi aku juga ingin ikut bertarung." Aku ingin membantu kakak.

".. Jika... aku dan Blu bisa mengatasi situasinya, lebih baik kau fokus mengevakuasi penduduk sekitar saja," selesai beres-beres, pemuda itu duduk di samping si gadis. "Kau tidak perlu memaksakan diri."

"... aku ini beban, ya?"

Blu mengangkat matanya dari tangan yang sibuk diperbannya. "Bukan, kalau kau cuma bakal terluka, lebih baik tidak usah sama sekali."

Rosso mendesis, mengisyaratkan 'jangan begitu bilangnya' ke adiknya, Blu memasang tampang kebingungan, ia tidak merasa salah 'sebaiknya langsung katakan saja sejujurnya, kan?'.

Grigio menarik tangannya, menyelesaikan perban itu dengan usaha sendiri. "..."

Suasananya jadi dingin.

"... Aku akan berlatih. Aku janji akan jadi lebih kuat lagi. Aku pasti bisa mengendalikan kekuatanku nanti, jadi biarkan aku bertarung di sisi kalian."

.

.

.

Tangan mereka terbakar lagi.

Kristal cahaya dan kegelapan sekali lagi menolak mereka.

Kenapa? Apa kita belum cukup kuat?

Rosso mengambil sepasang sarung tangan hitam, memakai satu. Yang satunya lagi ia berikan ke Blu, "Tutupi segera, sebelum Grigio tahu."

Luka-luka bakar itu memohon agar segera diobati, tapi keduanya mengabaikan tangisannya.

Sesungguhnya mereka berdua pun jugalah pembohong yang sama keras kepalanya dengan si bungsu.

Elegy for the Starry SkiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang