Eridanus [ Taiga ]

345 25 13
                                    

.

.

Apa itu nama?

Nama itu penanda, pembeda dirimu atas ribuan bayi serupa yang terlahir pada detik yang sama.

Siapa namamu?

Taiga.

Oh ya? Apa kau yakin?

Lantas, mengapa semua orang memanggilmu dengan sebutan lain? Bukankah itu berarti sebutan tersebut ialah namamu yang asli?

Aku.. namaku... Namaku Taiga! Bukan 'anak Taro'!

Ingin ia berteriak seperti itu, dari ujung puncak tertinggi sehingga semua nyawa bisa mendengar dan mengerti.

"Kau beruntung sekali ya, tidak perlu usaha banyak, hidupmu sudah pasti enak karena kau anak Master Taro."

"Kau anak Tuan Taro, kan? Pasti kau kuat seperti ayahmu, ya!"

"Ah, perhatikan baik-baik kalian semua, anak Taro ingin berbicara!"

"Tentu saja dia yang menang, ayahnya kan, orang itu."

"Bukankah tidak adil bila anak seorang petinggi dibiarkan ikut di lomba ini?"

"Ahaha, kau yakin nilaimu itu murni usahamu sendiri? Tidak dengan bantuan papamu itu?"

Lebih baik kalian diam saja semua.

.

.

.

Hulu tadinya berdiri sendiri. Lalu Pertiwi memberikannya sungai. Lahir dari dirinya dan berjalan sendiri membentuk jalurnya, menjadi eksistensinya sendiri, membawa apa yang sang hulu ajarkan, yang di mana seiring ia melangkah senantiasa menyebarkan kebaikkan ke makhluk hidup lainnya, ke rusa yang kehausan, ke manusia yang ingin membersihkan, ke ikan dan serangga yang mencari tempat tinggal. Sekecil apapun itu, telah membuat sang hulu bahagia dan bangga.

Tapi apa si sungai merasa demikian pula?

.

.

.

Usahamu tidak pernah satu pun ada artinya dalam mata mereka. Tak peduli sekeras apapun engkau membanting tulang, yang mereka ucapkan hanya satu, mengungkit garis keturunanmu sebagai faktor tunggal hasil yang baik, mengungkit garis keturunanmu sebagai sindiran pada hasil yang buruk. Apapun yang ia lakukan, ia selalu dilihat sebatas ekstensi dari keluarganya.

Taiga adalah ekstensi, bukan eksistensi.

Taiga terobsesi pada ide kekuatan, bila... bila ia bisa menjadi 'kuat' ia dapat.. melampaui sang ayah, semuanya. Ia akan bisa dipandang sebagai dirinya sendiri, bukan?

.

.

.

Apakah si sungai pernah merasa, dirinya hanyalah ekstensi semata bagi sang hulu? Bahwa dia bukanlah dirinya sendiri di dunia luas ini, hanya terusan dari sang hulu.

Apakah si sungai pernah mendendam pada hulu yang membawanya ke dunia ini?

.

.

.

"Itu bukan kekuatan, Taiga!"

Suara si manusia bumi yang ia pilih, Hiroyuki Kudo berteriak dengan sia-sia, menggema di seluruh zona gelap. Menyerukan nama sang 'buddy—teman' agar sadar.

Sadar?

'Sadar'?

Hiroyuki, aku. Aku sudah. Aku sudah sadar.

Elegy for the Starry SkiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang