Part 1. Inisiatif Gila

4.7K 130 4
                                    

Makan malamnya pertama di Indonesia, Khanza disuguhkan obrolan berat berkaitan bisnis sang Ayah. Denting sendok terdengar lirih, seiring desah napas pasrah.

"Ada masalah di kantor, Dad?" tanya Khanza akhirnya membuka mulut.

"Sedikit." Jawaban singkat Ferdian tampaknya belum memuaskan Khanza.

"Apa tidak ada waktu khusus untuk membicarakan masalah pekerjaan? Ayolah, kita nikmati dulu makanannya." Karina, Mom Khanza mencoba menengahi, sekaligus mengkhawatirkan kesehatan suaminya.

"Mom benar, Dad. Kita selesaikan makan malam dulu." Harris, anak pertama keluarga Ferdian Gutama pun angkat bicara.

Ferdian mengangguk. Meskipun tubuhnya berada di ruang makan, pikirannya tak bisa dihentikan untuk memikirkannya, dan Karina tahu itu.

Ritual makan malam bersama usai. Ferdian lebih dulu meninggalkan meja makan, diikuti Harris. Mereka menuju ruang kerja di dalam rumah itu.

"Khanza, kamu istirahatlah dulu. Biarlah Mom dan Bi Siti yang merapikan meja makan."

"Khanza tidak lelah, Mom. Di pesawat lebih banyak diam dan duduk. Cukup melelahkan."

Khanza masih membantu Karina merapikan meja kembali. Bi Siti membawa piring kotor ke tempat cucian.

"Dad sepertinya banyak pikiran, Mom?"

Karina menatap putrinya sejenak, kemudian ia tersenyum paham.

"Temui Dad dan Abangmu di ruangannya." Karina menggerakkan dagunya ke arah ruangan kerja. Putrinya itu sama pemikirnya dengan sang suami.

"Thanks, Mom." Khanza beranjak meninggalkan ruang makan, setelah mencium pipi Karina.

Khanza berlari kecil menuju pintu ruang kerja sang ayah. Ia mengetuk pintu berkali-kali, hingga mendapat izin masuk dari dalam.

"Apakah Khanza mengganggu?" tanyanya sopan. Matanya menatap bergantian pada dua lelaki beda usia itu.

"Tidak, Putriku. Kemarilah!" Ferdian menepuk sofa di sebelahnya, seolah meminta Khanza untuk duduk di sampingnya.

"Wajah kalian cukup tegang," tebak Khanza tanpa basa-basi.

"Anything problem," jawab Harris dengan sedikit penekanan.

"What is that?" tanya Khanza masil lekat menatap Harris dan Ferdian bergantian.

"Kepercayaan perusahaan berkhianat. Dia mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi."

Khanza mengerutkan kening. Heran menatap sang ayah.

"Bagaimana bisa, Dad? Mengapa sampai kecolongan?" kejar Khanza tak mengerti.

"Alex, orang lama kepercayaan perusahaan, juga tangan kanan, Dad. Dia juga telah menikung pelanggan loyal kita. Harusnya proyek atas nama perusahaan, ia ambil atas namanya pribadi. Licik, bukan?" Detail Harris menjelaskan dari singgasana Ferdian.

Kedatangannya beberapa bulan yang lalu khusus mengusut kasus Alex. Ia sampai meninggalkan perusahaannya sendiri di London. Untung saja, Khanza sedikit bisa diandalkan.

"Itu kesalahan Dad yang paling fatal. Dad terlalu sangat percaya pada Alex. Dan tidak pernah menyangka dia akan berkhianat," sesal Ferdian lirih.

"Bukan salahmu, Dad. Kau terlalu baik, dan kebaikanmu dimanfaatkan orang lain," sanggah Khanza mencoba menenangkan Daddy-nya.

"Baik boleh, waspada harus." Harris tak kalah tegasnya.

Kini, Ferdian baru sadar, putra-putrinya telah dewasa. Bahkan Harris sudah membangun bisnisnya di luar. Sudah saatnya pula, ia pensiun dan menurunkan pada kedua anaknya itu.

(Sesion 2) Pernikahan di Atas Kontrak BisnisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang