Part 6. Licik

951 56 3
                                    

Tidak ada percakapan di dalam mobil setelah Khanza dan Elly keluar dari ruangan Arsel. Hening.

Sesuai titah Harris dan persetujuan Ferdian, Elly telah lancang merekam pembicaraan Arsel di ruangan tadi. Tangannya gemetar. Ia juga tak ingin disebut pengkhianat. Tapi, sungguh tadi benar-benar membuat emosi dirinya yang tak bisa berbuat banyak.

"Saya ada keperluan sebentar. Pak, tolong turunkan saya di ujung jalan itu. Saya akan pulang sendiri. Jadi, kalian tidak perlu menjemput, maupun membuntuti." Meskipun kalimat yang diucapkan terdengar santai, tetapi memiliki penekanan untuk tidak dibantah.

Supir di depan mengarahkan kaca spion ke arah Elly. Mereka saling pandang sejenak, menghela napas panjang Elly mengangguk lemah.

Risikonya, mereka pasti kena marah. Namun, Khanza memberikan jaminan. Mereka pun tenang.

"Saya pergi menemui teman lama. Pun sudah mengabari Daddy. Jadi, kalian tenang saja."

Tidak ada yang menjawab. Hanya helaan napas pelan sang asisten pribadi. Ia tahu, Nona-nya sedang mengontrol emosi, dan butuh ruang sendiri.

****

"Kau keterlaluan Arsel. Anak dari partner bisnismu kau umpamakan seperti jalang."

Arsel menyeringai. Membalas tatapan Galan tanpa gentar.

"Kau sendiri tahu apa tentang perempuan?" sarkas Arsel membuat Galan tak bisa berkutik, dan menghempas tubuhnya kasar pada sandaran kursi, napasnya mengeram kasar.

Galan memang bukan 'pemain' seperti dirinya. Bahkan, Arsel meragukan sahabatnya itu sebagai lelaki sejati.

"Khanza memang bukan jalang yang biasa menawarkan barangnya lebih dulu. Pesonanya membuatku tertantang. Tapi, aku pastikan dia akan datang memohon kepadaku." Pongah tawa Arsel membahana dalam ruangannya yang kedap suara.

"Kau memang bajingan!" Umpatan Galan sudah biasa Arsel dengar. Lelaki itu kembali acuh.

Arsel berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekat pada jendela yang terbuka. Ia mengamati pemandangan di sekelilingnya, tepatnya di bawah gedungnya.

"Aku salut pada keberanian Ferdian mengirimkan putrinya padaku."

Galan memutar tubuhnya. Kini, ia menghadap penuh menatap punggung sahabatnya.

"Aku hargai itu. Berapa pun harga yang mereka pinta. " Sarkas Arsel dengan gemeretak menahan sesuatu dari dalam tubuhnya.

"Kau butuh penyegaran, Kawan. Jangan anak orang kau jadikan pelampiasan napsumu." Kali ini, Galan tidak mendukung sahabatnya itu.

Ia menjadi saksi, bagaimana Khanza datang bukan menawarkan diri, melainkan meyakinkan Arsel untuk tidak menarik investasinya, minimal 6 bulan kedepan.

Insting mengendus Arsel memang jitu. Bahkan, ia tak fokus pada pengajuan, memilih fokus pada bidikan.

"Aku yakin, gadis itu bukan gadis sembarangan. Cara dia presentasi membuatku terpukau," aku Arsel pelan.

Galan berjalan mendekat padanya. Khawatir ada perkataan Arsel yang lewat begitu saja, karena baru saja ia mendengar igauan sahabatnya yang terkesan sesuai fakta.

"Apa? Jadi kau memperhatikannya?"
Selidik Galan, suaranya sedikit mengejek.

Arsel berbalik menghadap Galan. Ia duduk di jendela yang sedikit terbuka. Satu kakinya diangkat ke atas paha.

"Kau pikir aku buta?" bentaknya sontak membuat Galan terkejut.

"Tapi, saat itu kupikir kau tidak memperhatikan, dan —"

(Sesion 2) Pernikahan di Atas Kontrak BisnisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang