PART7

39 9 0
                                    

Video bukanlah Barang Bukti

#misi_siswa_siswa_jomblo
(7)

Zara tiba-tiba mendekat, tidak suka tuduhan polisi pada Luthfi.
"Ya gak bisa dong, apa Pak POLISI melihat langsung Pak Luthfi melanggar menganiaya Janet? Apa Bapak bisa menerangkan itu tempatnya di mana? Apa Bapak bisa menjelaskan itu waktunya kapan?"

"Ya itu buktinya Rekaman CCTV sudah jelas Bapak Luthfi ini ada bersama Janet." Polisi menjelaskan dengan sabar.

"Lha terus apa di rekaman CCTV yang ada itu apa yang dilakukan Pak Lithfi menyebabkan kematian Janet? Terus ada yang dirugikan secara langsung?" Zara nampak sangat penasaran. Semua orang terdiam.

"Ya tidak. Tapi 'kan ini adalah dugaan."

"Kalau negitu Pak Luthfi tidak bersalah dan Bapak polisi tidak bisa menggeledah Pak Luthfi, karena menurut MK rekaman video tidak bisa dipakai sebagai barang bukti apalagi ini cuma CCTV tidak ada suaranya, Bapak juga tidak melihat secara langsung cuma melihat dari Rekaman CCTV, tidak bisa menjelaskan kejadiannya kapan dan dimana secara detail, juga tidak ada kerugian secara langsung seperti terjadi kematian Janet." Zara dengan cerdasnya membela Luthfi dengan mengkaitkan sidang MK pemilu di negerinya baru-baru ini.

Polisi diam tak berkutik. Anak di hadapannya luar biasa cerdas rupanya.

"Sudah, biarkan saja." Luthfi berusaha menengahi, menjaga marwah polisi yang notabene menimbulkan rasa aman bagi semua orang.
"Saya tidak melakukan kesalahan, jadi silakan saja."

Polisi merasa senang mendapat pembelaan bahkan dari orang yang mereka curigai.

***

Dengan tenang Luthfi membuka pintu rumah sederhana yang baru ia tempati seminggu, hati terus memaki keadaan namun kesabaran mampu membuatnya tak bersikap kasar. Bukankah kebanyakan orang lurus hati itu pernah diuji dengan difitnah.

"Silakan." Luthfi mempersilakan tamu-tamu berpakaian rapi itu dengan lembut.

"Terimakasih." Polisi memasuki ruangan, diikuti Luthfi.
"Rapi." Polisi manggut-manggut. "Sudah banyak kutangani kasus, psikopat berdarah dingin seringkali tinggal di tempat sangat rapi, mereka juga orang yang ramah." Polisi tersenyum kecut, melirik ke arah Luthfi.

"Silakan dibuktikan." Luthfi menjawab tenang, seulas senyum menghiasi bibir merahnya.

Polisi mulai sibuk, semua barang yang tersusun rapi kini berantakan. Mereka mengumpulkan barang-barang yang dirasa penting dan berkaitan. Satu amplop berisi surat, uang cash senilai 20 juta, satu pisau dapur, 1 cutter, tali, dan dua gunting--kecil dan tanggung-- juga sebotol kapsul vitamin.

"Wah, Anda banyak uang rupanya. Seorang guru honorer, tapi menyimpan uang cash 20 juta. Wow." Polisi bicara seolah sudah sangat yakin Luthfi adalah pelakunya.

Mendengar semua ucapan polisi Luthfi kembali tersenyum.

"Wah, Anda tersenyum. Ketahuilah, semua ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi demi menghormati proses hukum yang berjalan, kali ini kami hanya bisa membiarkan. Baiklah, terimakasih untuk kerjasamanya. Saya harap Anda tidak berusaha untuk kabur." Polisi menepuk pundak Luthfi, mengembangkan senyum mengejek lalu keluar beserta timnya.

Luthfi meraih ponsel, menghubungi seseorang.
"Assalamualaikum." Ia perhatikan jam di dinding, 17.30. Memperkirakan waktu jika harus bertemu dengan Ridho di suatu tempat.
...
"Iya Dho."
...
"Loe masih ingat 'kan toko elektronik yang kita kunjungi bulan lalu?"
...
"Benar, gue perlu itu. Bisa loe belikan dulu?"
...
"Iya, yang itu aja."
...
"Beli semua deh. Kalo perlu lobang semut di sekolah itu gue amati aktifitasnya."
...
"Hahaha."
...
"Ya. Gue tunggu ya. Sembilan tepat, eh, ada mobil 'kan?"
...
"Sip. Makasih yes Bro!"
...
"Waalaikumsalam."

Luthfi mengakhiri percakapan dengan Ridho, lalu bersiap pergi ke suatu tempat.
"Sepertinya ada seseorang yang mengetahui tujuanku ada di sekolah itu," gumamnya sembari melepas kaos kaki yang dikenakannya.

***

"Apa yang terjadi?" Dimas tak bisa menyembunyikan kepanikannya saat di rumah sakit.

"Aku juga gak tahu Paman. Tunggu saja sampai Bibi sadar dan menceritakan semua. Oya Bapak dan Ibu gak ke sini?" Dhira bicara dengan memeluk Jingga.

"Yah!" Suara parau Jingga meluncur begitu saja, Dimas dan Dhira sontak melihat ke arah gadis kecil itu.

Jingga jarang sekali bicara, maka ucapannya akan langsung direspon siapa saja yang ada di dekatnya.

"Ibu marah ... Ibu marah sama tante genit itu." Jingga mengucap dengan pelan. Ucapannya membuat dua orang dewasa di dekatnya terkejut.

Dimas kini dihinggapi rasa takut.

Meletakkan lutut ke lantai, memutar tubuh Jingga, mata Dhira sejajar hingga bertemu manik kecokelatan milik Jingga.
"Ada apa, Sayang? Jingga bisa cerita semuanya pada Bunda."

"Ibu marah."

"Siapa yang bilang?"

"Kata Mak Odah waktu kasih es sirup kemarin. Orang genit itu harus dihukum." Jingga biacara datar, nyaris tanpa ekspresi. Jingga lalu berbisik namun masih terdengar, "Aku lihat ibu berkali-kali berdiri depan tangga loteng pakai baju putih-putih."

Mendengar ocehan Jingga, Dimas semakin takut dan cemas. Pikiran ya dipenuhi tanya, apakah Siti kembali untuk balas dendam padanya dan Risma.

"Sayang, orang yang sudah meninggal itu tidak bisa marah apalagi melukai kita yang masih hidup. Itu cuma bayangan. Lagian 'kan Jingga belum pernah ketemu Ibu, jadi mana mungkin bisa tahu kalau itu Ibu." Dhira menjelaskan dengan penuh kasih sayang, berharap anak di depannya tenang agar tidak berpikir macam-macam dan mengguncang jiwanya.

"Itu Ibu!" Suara Jingga meninggi, Dhira langsung memeluknya. Zara yang duduk di kursi pasien --sibuk memainkan ponsel-- sekitar sepuluh meter dari Jingga, pun kaget dan menoleh ke arah mereka bertiga.

Sepersekian detik kepala sekolah datang membawa dua kresek berisi makanan dan air mineral.
"Ada apa?" Kepsek meletakkan barang bawaannya di kursi dekat Zara duduk. Lalu berjalan mendekati Dhira.

Merasa ada yang memegang bahunya, Dhira terkejut dan menggeser tubuhnya. Menoleh, ia pun bereaksi dengan tatapan tak senang pada sikap kepsek yang berani menyentuhnya.

BERSAMBUNG

Part Lengkap

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=145967959919580&id=100035191304256

Misi Siswa-siswa JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang