#10

33 9 0
                                    

#misi_siswa_siswa_jomblo

ADA APA DENGAN JINGGA?
(10)

Terus berlari. "Jingga kamu ngapain di sana Nak? Bagaimana jika terjadi sesuatu? Bunda sudah janji pada ibumu. Maafkan aku Siti." Hati Dhira terus bicara. Lorong bangunan terasa sangat panjang. Padahal di atas sana masih ada lorong lagi hingga sampai ke loteng.

Teringat wajah Siti, tetangga, teman bermain dan juga teman sekolahnya. Siti gadis baik, itu kenapa Dhira memilih sahabat dekat sepertinya. Namun, takdir berkata lain. Selalu berprasangka baik ternyata tak selalu berbuah manis. Apalagi jika berbaik sangka disatukan dengan nafsu yang banyak remaja menyebutnya "cinta". Itulah yang Siti alami.

"Wah, adeknya sudah gerak-gerak Sit. Nanti biar aku ikut jadi ibunya ya?" Dhira memegang perut Siti yang kala itu sedang hamil Jingga enam bulan.

Siti tersenyum, tapi sayang tak lama kaca-kaca memenuhi matanya. Dhira lah satu-satunya tempat menumpahkan semua prahara di hati. Tahu betapa dalam rasa sakit yang Siti rasa, Dhira mengusap-usap pundaknya.
"Sabar ya. Masalah besar hanya Allah berikan pada mereka yang punya jiwa besar." Tangannya memeluk, hingga kepala Siti tenggelam dalam jilbabnya.
"Maaf untuk kelakuan bibiku, aku tak bisa berbuat apa-apa."

Siti sesenggukan, ia puaskan menangis di pelukan Dhira.

"Dan kalau Ibu dan Kakakmu gak datang, aku ada kok buat kamu. Aku akan sayang pada bayi ini melebihi cucuku sendiri," sambung Dhira.

Siti menarik tubuhnya, matanya membulat. "Apa? Cucu?"

"Hahaha." Dhira tertawa.

Siti pun ikut tertawa mendengar lelucon sahabatnya itu, "Iya sih, kamu emang sudah tua."

Keduanya tertawa. Bayangan itu hilang ketika mengingat Jingga.

"Ah, mudah sekali air mata ini tumpah." Dhira menyeka buliran bening yang jatuh ke pipinya, lebih cepat berlari.

Sedang di belakangnya, Luthfi berlari mengimbangi, tak mau mendahului. Membiarkan wanita di depannya puas dengan upayanya menjadi penjaga. Sesakali pandangannya melihat sekeliling di mana terletak CCTV yang ia pasang bersama Ridho sebelumnya.

Di lantai atas, saat hampir mencapai tangga Luthfi berteriak.
"Dhiraa!"

Dhira menghentikan langkahnya. Kaget pria yang masih dihormatinya sebagai guru memanggil tanpa sebutan "Bu/Ibu" apakah ... tapi segera ia tepis prasangka bukan-bukan itu, "Ini bukan saat yang tepat memikirkan diriku sendiri," batinnya bicara.

Berbalik, berhadapan dengan jarak tiga meter. Pundak keduanya naik turun karena letih.

Luthfi memegangi dua lututnya, "Begini, kami belum sempat memeriksa loteng. Karena saat akan naik saya mendengar teriakan em, e ..."

"Okeh, panggil Dhira saja. Bapak tidak harus terlalu hormat pada saya." Dhira menekan suara, tak ingin Luthfi tahu ada perasaan aneh saat bersama pria tersebut.

"Ya, baik. Maksudku, aku tak sempat naik karena mendengar teriakan kamu pada kepala sekolah tadi." Luthfi bicara ngos-ngosan.

Beberapa kejadian sebelumnya membuat keduanya menjadi canggung saat bicara.

"Jadi?"

Handphone Luthfi berbunyi. "Tunggu, tolong jangan bergerak. Aku akan terima telepon dulu."

Dhira melihat ke arah tangga gelap di hadapannya, ingin sekali naik ke sana, tapi enggan. Jadi tidak tahu apa yang ada di atas sana. Jingga?

"Ah, iya baik Dho."
Luthfi menutup teleponnya.

"Begini Bu, maksudku Dhira. Jingga sudah turun dari loteng."

Misi Siswa-siswa JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang