Part 5

163 18 0
                                    

"Zara ...." ucapan Rayyan menggantung melihat kedatangan Dhira bersama Zara juga Jingga di sampingnya, ke teras mushola, di mana Rayyan dan Luthfi mendiskusikan sesuatu.

"Tundukkan pandanganmu anak muda." Luthfi tersenyum, menepuk bahu Rayyan.

Nyengir, salah tingkah. Rayyan berbisik, "Kenapa dia Pak? Siswi lain 'kan banyak."

"Ibu Dhira yang pilih, Bapak tidak tahu menahu soal itu."

Mengambil posisi duduk melingkar, kini mereka berlima saling berhadapan.
"Assalamualaikum." Seulas senyum menghiasi wajah ayu Dhira.

"Waalaikumsalam." Rayyan dan Luthfi berbarengan menjawabnya.

Melihat pandangan Rayyan yang penuh tanya ke arah Zara, Dhira membuka pembicaraan.
"Em, Ibu sengaja meminta Zara menggantikan posisi Janet. Tolong dimusyawarahkan di rapat OSIS besok ya! Belum ada pengganti 'kan?"

"Kenapa Zara Bu?" Rayyan bertanya, membuat Zara merasa tak nyaman ada di sana.

"Selain Ibu sudah lama mengenal Zara,  Ibu tahu Zara itu seperti apa. Ibu tidak mau kalau program kita ke depan gagal karena perbedaan pandangan." Dhira berusaha memberi pengertian.

Rayyan tampak tak terima,  selama setahun terakhir hatinya diusik keberadaan Zara di SMU Jingga, mati-matian dia berusaha menjauhi gadis itu demi genk Perjaka.

"Sebaiknya, langkah awal Zara bergabung dengan kita adalah memakai rok di bawah lutut. Yah ... syukur kalau mau pake kerudung sekalian." Luthfi menimpali, matanya melirik sebentar ke arah Zara.
Batinnya istighfar berkali-kali. Bagaimana pun Luthfi adalah lelaki normal, imajinasinya kemana-kemana saat melihat aurat wanita.

Sedang Zara buru-buru memegangi roknya, menarik-nariknya agar dengkulnya tertutup, namun sia-sia karena rok itu memang pendek.

Masuk ke SMU Jingga adalah bagian yang berat, orangtuanya bahkan sempat melarang. Namun, ia tak mau harta keluarga yang didonasikan tiap bulan untuk yayasan yang menaungi SMU ini menjadi jariyah dosa.

Sungguh pilihan berat. Jika mereka menghentikan aliran dana, anak-anak desa Jingga akan sekolah ke mana? Sebelumnya banyak yang memilih tak melanjutkan sekolah daripada harus menempuh jarak jauh tiap hari ke kota.

"Tidak semudah itu, di sekolah ini dilarang keras memakai jilbab. Yang memakai rok di bawah lutut pun dibully sama anak-anak lain. Gak lazim." Dhira prihatin.

"Benar, untung saja pak Kepsek suka sama ibu Dhira, jadi boleh make kerudung. Hehehe."  Rayyan terkekeh. Dhira melotot ke arahnya.

"Oya? Lalu gadis cantik ini? Anaknya Bu Dhira?" Luthfi mengusap rambut Jingga, ia nampak antusias mendengar ulasan Rayyan tentang Dhira.

"Bukan. 'Kan Bu Dhira belum menikah Pak." Rayyan menyahut.

Wajah Dhira bersemu, bukan tersanjung tapi malu.
"Tapi dia sudah seperti anak saya sendiri, iya 'kan Jingga Sayang?" Jingga tersenyum. Anak ini memang jarang sekali bicara.

Luthfi manggut-manggut, melirik sebentar kemudian menundukkan pandangannya.

"Sudahlah kita bahas saja programnya Pak. Sebentar lagi ada rapat, kasihan juga Rayyan dan Zara kalau kesorean."

Baru saja Luthfi hendak menyampaikan planning, seorang wanita datang.
Membawa beberapa kotak bolu. Hampir setiap hari wanita itu datang ke sekolah. Jika ada kue yang tak laku, dengan segera ia antar ke sekolah. Dengan begitu, Bu Agus selalu menjual barang baru dan barang lamanya tidak terbuang sia-sia.

"Oh, Bu Agus." Zara terlihat senang melihat wanita yang menjadi istri guru BK nya tersebut.

"Ini tadi mau saya bagi ke anak-anak, tapi sudah sepi sekali," Bu Agus nampak kecewa.

"Oh, itu. Karena akan diadakan rapat, jadi anak-anak dipulangkan lebih awal. Gak papa Bu, setelah ini ada rapat guru, genk saya juga belum pulang kok Bu. Urusan lima kotak kue aja bisa kami habiskan apalagi cuma sekotak. Heheh, jadi kuenya gak mubazir." Rayyan bicara diplomatis.

"Oh,begitu. Ya, baiklah. Saya tinggal sini aja." Bu Agus meletakkan kotak kue. "Ini yang berdua siapa Nan?" Bu Agus bertanya.

"Kenalkan saya Dhira. Guru baru di sekolah ini." Dhira mengulurkan tangan.

Segera disambut Bu Agus, tersenyum. Melihat dari atas hingga bawah. Dalam hatinya memuji kecantikan Dhira.

Luthfi memperhatikan gelagat dua wanita di hadapannya. Setelah Dhira, Bu Agus mengulurkan tangan pada Luthfi namun dibalas dengan tangan menangkup. Membuat Bu Agus tak nyaman.
"Saya Luthfi."

"Oh ya."
.
.
Dari kejauhan Udin terlihat berlari ke arah mereka.

"Nan ... Nan ... ada yang mati!" Udin tersengal-sengal.

Semua melihat ke arah Udin.

"Siapa?!" Suara itu nyaris serempak meski dengan intonasi yang berbeda.

"Mak Odah. Mamak kantin."

Mereka semua berlari ke kantin.

***

"Mana hantunya? Lain kali kalau kalian macam-macam lagi ngerjain guru. Langsung bapak depak!" Agus mengomel menuruni loteng, setelah berlarian dengan Raka dan Sultan, karena dua anak itu mengadu melihat hantu.

"Iya Pak. Tadi bener ada kok. Kami lihat berdua. Ya kan Ka?"

"I, iya Pak!" jawab Raka.

Terus berjalan akan turun ke bawah, tak sengaja netra Agus melihat bayangan keluar dari toilet. Memicingkan mata, "Apa itu tadi?"
Ia berlari, diikuti Raka dan Sultan di belakangnya.

Sampai depan toilet yang terbuka setengah pintunya, melirik sebentar "Ada yang tak beres." Agus lebih dulu mengejar bayangan yang dilihat sebelumnya, tapi sudah hilang entah kemana. Lalu kembali ke arah toilet.

Raka dan Sultan masih mengekor dengan cemas.
"Ada apa Pak? Hantu?" tanya satu dari mereka.

Terus bergerak, "Bu Risma!" Agus segera memeriksa keadaannya. Mengerikan, wajahnya rusak karena pukulan benda keras.
"Dia hanya pingsan." Agus segera membopong tubuh yang tergeletak di lantai.

BERSAMBUNG

Misi Siswa-siswa JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang