[ D U A ]

16 5 0
                                    

Warn! Ini nyentuh 1k words lebih
;)) Aku selalu ngasih warn ya kalo katanya udah nyentuh 1k, enjoy!

Hari ini, Gavin semakin bingung karena Vanya. Tingkah sahabatnya itu semakin berubah.

"Pin, hari ini gue makan bareng Icha ya" kata Vanya setelah  bel istirahat berbunyi.

"Hah?! Icha? Bukannya lu pernah bilang kalo lu ga suka sama dia ya?" tanya Gavin bingung.

"Ih biarin. Gue mau nyoba bergaul sama temen-temen cewek juga. Jadi gak sama lu terus. Lu gabung aja sana sama cowok-cowok yang lain. Gue duluan ya" Vanya lalu meninggalkan Gavin yang sudah dipenuhi tanda tanya.

"Kenapa lagi sih dia" ucap Gavin kecil.

Tidak hanya itu saja yang berubah dari Vanya. Tampilannya juga telah berubah. Ketika istirahat kedua, Gavin akhirnya mencoba untuk bertanya pada Vanya kala keduanya sedang berjalan bersama.

"Heh pan, lu kenapa sih? Lu sakit ye?" tanya Gavin sambil memegang dahi Vanya.

"Hah? Sakit? Gue keliatan pucat ya? Tuhkan bedak gue kurang nih" Vanya malah mengambil bedak dari sakunya.

Gavin yang melihat tingkah Vanya, merebut bedak dari tangannya.

"Ih pin, balikin!" jawab Vanya yang mencoba merebut bedaknya.

Perlu diingat kalau Gavin pastinya lebih tinggi dari Vanya dan dia mengangkat bedak itu tinggi-tinggi.

"Jawab dulu. Gue tau lu ngerti. Jangan pura-pura ga ngerti" jawab Gavin dingin.

"Emang gue beda gimana sih? Perasaan sama-sama aja"

Bukan itu jawaban yang diinginkan Gavin. Jadi Gavin melangkah pergi sambil membawa bedak itu.

"IH GAVIN!" teriak Vanya.

"Tinggal beli lagi apa susahnya? Jangan kek orang susah deh" kata Adelva dan lewat begitu saja.

"Kalo bukan karena pengen ditemenin, udah gue tendang lu" kata Vanya sambil memakinya dalam hati.

Intinya, semakin hari Vanya makin berubah!

.    .    .    .
.    .    .
.    .
.

Vanya tidak sebodoh itu untuk mengira dirinya tidak berubah.

Dia jelas tau bahwa dia memang berubah. Ralat, sangat berubah. Ini tidak seperti dirinya. Dia sebenarnya tidak mau ini terjadi lagi. Dia lelah berpura-pura. Dia lelah mengubah dirinya. Tapi dia melakukan itu agar bisa mendapatkan hal-hal yang dia mau.

Penerimaan, penghargaan, disukai dan dicintai banyak orang. Ketiga hal itu selalu ingin Vanya dapatkan. Walau dia harus mengorbankan jati dirinya sendiri.

Mungkin kalian mengira bahwa tindakan Vanya ini begitu bodoh. Tapi Vanya punya alasan tersendiri.

Dirinya yang saat itu masih menduduki bangku kelas 10 pernah melakukan hal serupa. Vanya tahu bahwa untuk diterima di sekolah itu dan mendapat apresiasi dari teman-teman sebayanya dia harus sedikit mengubah sikap dan tampilannya.

Dia tahu orang-orang tidak menginginkan sosok Vanya yang asli.

Vanya yang asli adalah seseorang yang ceria dan penuh energi, senang bercanda, berisik, tomboy, dan tidak suka disuruh atau diperintah. Tapi di saat yang bersamaan Vanya juga seseorang yang sebenarnya rapuh dan tidak percaya diri.

Banyak orang yang tidak suka dengan kepribadiannya itu. Vanya awalnya percaya bahwa mereka hanya iri karena tidak bisa mengimbangi energi Vanya. Tapi kepercayaan Vanya itu hilang. Dia mengambil kesimpulan bahwa orang-orang memang tidak suka Vanya yang seperti itu. Dia tahu itu karena sudah banyak orang yang mengomentarinya dengan cara yang menghakimi. Seperti,

True Colors ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang