Warn! Ini nyentuh 1k words lebih
;))) Disarankan baca part ini sambil dengerin lagu true colors, udah aku sisipin lirik videonya yaa ;)) Enjoy!Vanya bukanlah orang yang cengeng dan gampang menangis.
Dia jarang sekali menangis. Mungkin seperti itulah pandangan orang-orang pada Vanya. Tapi sebenarnya Vanya tidak jarang menangis. Hanya saja dia tidak pernah menunjukkan tangisnya pada orang-orang. Dia tidak mau menunjukkan kesedihannya pada orang-orang. Jadi dia selalu memendam semua kesedihannya sendiri.
Dia memang sering bercerita pada Gavin, sering sekali. Tapi dia belum pernah menangis di depan Gavin. Dia juga tidak mau sahabatnya itu melihat kesedihannya. Hanya bantal dan toilet saja lah yang menjadi saksi bisu tangisan Vanya.
Jika Vanya ingin menangis, dia menangis diam-diam di kamarnya atau kamar mandi, dan keluar dari sana seolah-olah dia baik-baik saja. Memang sepandai itulah seorang Vanya menyembunyikan kesedihannya.
Sekarang Vanya sudah berada di markas mereka. Dia berlari menaiki tangga dan tanpa sadar air matanya sudah berjatuhan. Dia masuk dan mengunci pintu rooftop dari dalam. Dia ingin sendiri.
Disitu Vanya menangis tersedu-sedu. Tapi otaknya tetap berputar, memikirkan suatu rencana. Tiba-tiba tangis Vanya terhenti. Dia berjalan ke tepi rooftop yang menunjukkan bahwa dirinya berada di lantai paling tinggi di sekolah itu. Dia dapat melihat kendaraan berlalu lalang di bawah dengan sibuknya. Dia meringis sedikit begitu membayangkan jika dirinya terjun ke bawah.
"Pasti akan sakit" gumamnya.
Tapi Vanya malah melangkah mundur dan melihat sekeliling. Akhirnya dia melangkah ke meja kecil disana. Di atasnya terdapat tempat pensil milik Gavin yang sepertinya lupa dia bawa ke bawah. Vanya mengoprek isi tempat pensil itu. Isinya cukup lengkap bagi seorang cowok seperti Gavin.
Vanya tersenyum sendu ketika menemukan barang yang ia cari-cari. Dia mengambil alat itu dan menggesek-gesekannya pada tangan mulusnya.
Ya, dia melakukan cutting.
Tapi bedanya Vanya menggunakan penggaris plastik untuk kegiatan cuttingnya itu.
Di dalam tempat pensil Gavin ada hal lain yang lebih keren kok seperti gunting dan cutter. Tapi Vanya sudah takut duluan dan malah memilih penggaris plastik.
Malah tadinya dia ingin bunuh diri dengan loncat dari rooftop ini, biar mirip film-film yang pas bagian dramatis itu katanya. Tapi Vanya mengurungkan niatnya karena dianggap ide itu sudah terlalu mainstream.
Jadi Vanya lebih memilih untuk melakukan cutting. Tapi lagi-lagi dia berpikir dulu. Tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri bukan? Lagipula dia hanya perlu menyakiti dirinya sedikit. Itu hanya untuk meluapkan emosi semata saja. Toh dia juga tidak mau menyesal setelah ini.
"HUH! DASAR CEWEK GA BERGUNA!" teriak Vanya sambil menggores-gores penggaris itu ke kulitnya sendiri. Dia sekarang telah terduduk dengan lemas.
"DASAR CEWEK LEMAH!" suaranya pecah di akhir kalimat. Air mata mulai berjatuhan kembali.
"K-KOK BI-BISA SIH ADA OR-ANG KEK L-LU"
"L-LU SADAR DI-DIRI DONG! LU G-GA BAKAL DITE-TERIMA S-SAMA SIAPA PUN!"
Kegiatan itu terus dilakukan Vanya. Sampai dia tidak sadar kalau pintu sudah terbuka dan menunjukkan seorang laki-laki seumuran Vanya. Laki-laki itu melangkah ke arah Vanya. Rasa cemas terukir di wajahnya, tapi begitu melihat kegiatan Vanya itu dia hanya tersenyum simpul.
"Lu sebenernya niat mati ga sih?" Ya, itu Gavin dan mulut kurang ajarnya.
Vanya yang menunduk kini mengangkat kepalanya untuk melihat Gavin. Pandangannya mengabur karena air mata, tapi dia tahu pasti siapa itu. Saat tahu bahwa itu Gavin dia buru-buru mengusap air matanya kasar.

KAMU SEDANG MEMBACA
True Colors ✔
Novela JuvenilPenerimaan, penghargaan, disukai dan dicintai banyak orang. Tentunya itu semua ingin dirasakan oleh semua orang.Tidak terkecuali oleh Vanya. Tapi ternyata cara mendapatkannya tidak semudah yang Vanya kira.Dia harus melalui banyak pengorbanan yang ba...