Disarankan untuk baca sambil dengerin mulmednya ;)) Enjoy!
Hari itu, Vanya merasa lelah.
Dia baru saja memakai jam istirahatnya untuk mengajari teman-temannya yang minta diajari olehnya karena sebentar lagi akan PTS. Untung tadi dia sudah makan.
Walaupun dia kelihatan sangat paham pada materi yang dia ajarkan, sebenarnya dia tidak terlalu fokus menangkap materi itu. Sedangkan teman-temannya mendapat untung banyak dari ajaran Vanya itu.
Vanya sibuk dengan pikirannya sendiri sambil berjalan lesu di lorong kelas. Pikiran dan badannya masih lelah dengan aktivitasnya hari itu.
Tiba-tiba saja ada orang yang menarik tangan Vanya dari belakang.
"Heh! Kok lu main tar-"
Mukanya berubah menjadi kaget dan bingung saat melihat orang yang menarik tangannya itu.
"Gavin?"
. . . .
. . .
. .
.Gavin sudah tidak tahan lagi jika hubungannya harus seperti ini terus dengan Vanya.
Dia juga tidak bisa melihat Vanyanya berubah seperti ini.
Gavin akhirnya menyadari apa yang terjadi dengan Vanya. Dia merutuki dirinya sendiri karena baru menyadari bahwa Vanya bertingkah seperti ini karena hal yang sama dengan apa yang terjadi pada kelas 10.
Dia pun segera mencari Vanya. Gavin sudah membulatkan tekad untuk berbicara empat mata dengannya.
Untungnya, saat itu dia menemukan Vanya sendirian yang terlihat lesu di lorong kelas. Dia segera menarik tangan Vanya dan membawanya ke suatu tempat.
"Heh! Kok lu main tar-"
Gavin tidak memedulikan kata-kata Vanya. Dia hanya memperlihatkan mukanya pada Vanya dan terus berjalan.
Dia bisa melihat muka Vanya berubah menjadi kaget dan bingung saat melihat bahwa dirinya lah yang menarik Vanya.
"Gavin?" tanya Vanya.
"Lu mau bawa gue kemana?" tanyanya lagi.
"Ikut aja. Jangan melawan" perintah Gavin.
Ternyata Gavin membawa Vanya ke markas mereka. Markas mereka adalah rooftop sekolah itu. Gavin yang berstatus sebagai kepala yayasan itu, tentunya dibolehkan untuk memiliki 'markas' di rooftop sekolah mereka.
Markas mereka itu tentunya sudah diberi perubahan oleh mereka. Jadi tidak hanya berupa rooftop yang kosong begitu saja.
Sudah ada tikar dan karpet yang menjadi alas markas mereka. Lalu ada kursi santai serta sofa kecil disitu. Sebuah kulkas mini, radio, meja kecil, dan gitar melengkapi isi markas mereka. Jangan tanyakan bagaimana itu semua bisa dipindahkan ke rooftop ini.
Sesampainya di markas, Gavin segera menutup pintu dan menuntun Vanya untuk duduk berhadapan.
Manik mereka saling bertemu, tapi mulut mereka tetap terkatup rapat tidak ingin mengeluarkan sepatah kata pun.
Gavin bisa melihat mata Vanya yang menunjukkan kelelahan serta tatapan sendu. Tidak seperti sorot matanya yang dulu selalu ceria dan bersemangat.
Akhirnya Gavin yang tidak tahan dengan suasana canggung itu berbicara duluan.
"Gue tau kenapa lu gini. Cerita aja van ga perlu takut. "
"Kan katanya lu dah tau jadi gue gak perlu jelasin semuanya lagi"
"Harusnya lu ga gini van" Gavin mencoba membahas langsung ke intinya. "Udah berapa kali gue bilang jangan peduliin-"
Vanya yang mendengarnya hanya tertawa sarkas.
"Mudah ya buat lu bilang gitu. Iyalah, seorang Gavin Jovandra mana pernah salah"
"Lu kenapa sih? Kok malah ngomong gitu?" Gavin mencoba menanggapi perkataan Vanya itu setenang mungkin.
"Emang bener kan? Itu faktanya." Jawab Vanya.
"Enak kali ya jadi lu. Udah anak kepala yayasan, dikagumin semua orang-"
"-lu gak ngerti apa yang gue lewatin, vin"Vanya sebenarnya agak kaget dengan perkataannya. Namun Vanya memang sudah tidak tahan memendam hal ini terlalu lama.
"Tapi kan gue ngerti van. Gue beneran ngerti apa yang lagi lu jalanin"
"Engga vin! Lu ga ngerti!" suara Vanya mulai meninggi.
"Ga ngerti?! Kalo gitu buat gue ngerti, bukan malah ngejauhin gue!" Gavin ikut marah.
"See?" tawa sarkas Vanya terdengar lagi. "Gue lagi nih yang salah?" Vanya menunjukkan senyum miringnya.
"Emang gue tuh selalu salah ya, haha"
Gavin hanya menatap Vanya dengan tajam sekaligus bingung."Oke gue mau jujur sama lu. Gue tuh iri banget sebenernya sama lu. Bisa diterima banyak orang tanpa harus mengorbankan jati diri lu" kata Vanya lagi.
"Lu juga bisa kok jadi diri lu sendiri. Gue bisa bantu lu!"
"Iya. Lu ngebantu banget kok. Gara-gara lu gue harus nerima semua omongan menghakimi orang-orang "
"Kenapa? Lu baru tau?" kata Vanya yang melihat wajah bingung Gavin
"Lu baru tau kalo selama ini
sebenernya gue cuman ada di bawah bayang-bayang lu?! Lu baru tau kalo semua omongan orang karena kedekatan kita berdua selalu dijatuhin ke gue dan bukan lu?! Iya?!""M-maaf van. Gue beneran gak tau. Ta- tapi gue bakal bantu lu kok, tenang aja. Kita cari solusinya bareng-bareng. Gak perlu harus kek gini"
"Maaf? Dah basi vin!"
Gavin yang mendengar itu tidak bisa menahan emosinya lagi.
"Jadi lu maunya apa?! Gue baikin lu malah ngelunjak! Gue udah berusaha ga kasar sama lu ya!"
"Ngelunjak? Gue kan cuman bicara fakta vin!" jawab Vanya.
"Oke. Gue juga mau bicara fakta. Faktanya, lu emang gak akan pernah dapetin penerimaan dari orang lain! Termasuk dari gue!"
"Gue juga capek ya berusaha buat selalu ngebantu lu tapi gak dihargai! Lu beruntung punya gue Van! Tapi lu juga nyia-nyiain hal ini"
"Lu terlalu haus akan ketenaran dan pujian, lu mau supaya semua orang suka sama lu! Asal lu tau orang-orang di luar sana cuman manfaatin lu doang! Dasar cewek lemah gak berguna!"Setelah menyerang Vanya bertubi-tubi, Gavin melangkah pergi dan membanting pintu rooftop meninggalkan Vanya yang terlihat marah tapi berusaha mati-matian untuk menahan air matanya supaya tidak jatuh.
Kata-kata Gavin sukses menusuk hatinya dan ketakutan terbesar Vanya pun terjadi.
Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang menerima dia apa adanya.
-tbc
Hai haii! Maaf ya kalo mulmed ga terlalu ngena atau sesuai sama isinya ehe. Tapi aku bakal selalu selipin lagu ini di tiap bagian yg agak serius dan menurut aku pas sama lagunya. Jangan lupa vommentnya yaa! ;)))
KAMU SEDANG MEMBACA
True Colors ✔
Teen FictionPenerimaan, penghargaan, disukai dan dicintai banyak orang. Tentunya itu semua ingin dirasakan oleh semua orang.Tidak terkecuali oleh Vanya. Tapi ternyata cara mendapatkannya tidak semudah yang Vanya kira.Dia harus melalui banyak pengorbanan yang ba...