A. Ancaman Pertama

378 36 7
                                    

Untuk: Adikku, Mika Farastika.

Hai, Mika. Sudah lama kita tidak berbincang. Aku kangen, apa kau juga? Sore ini, aku baru saja selesai kencan dengan Alva, kami merayakan anniversarry ke empat tahun. Yang mungkin akan menjadi tahun terakhir kami bersama.

Kau perlu tahu, Mik. Ternyata Alva tidak sekasar yang kau bayangkan, seperti saat pertama kali kami jadian. Bahkan selama empat tahun ini dia selalu melindungiku, memperlakukanku dengan lembut, memberiku banyak waktu untuk bermanja dengannya. Sedikitpun Alva tidak pernah berbuat kasar kepadaku.

Mika. Ketika kau membaca surat ini, mungkin kakak sudah tidak ada di sampingmu. Tenang saja, aku masih bisa melihatmu dari sini. Jangan menangis! Apalagi sampai mengotori kertas ini. Hehehe.

Ah iya. Bagaimana keputusanmu untuk menjadi muallaf? Sudah mantap bukan? Kuharap kau tidak menundanya lagi. Aku ikut senang adikku sudah menemukan jalannya sendiri. Ya, meskipun jalan kita sudah berbeda.

Berhenti menangis, Mika! Aku tahu persis bagaimana sifat dan watakmu yang lebih keras dari aku! Kau kuat! Kau bisa hidup sendiri tanpa aku! Kan selama ini kau yang sudah melindungi aku, dari sebelum Alva datang lalu menggeser sedikit tugasmu.

Ugh, hampir saja lupa. Sebelum surat ini kuakhiri, aku punya satu permintaan yang harus kau turuti. Dan ini akan berjalan selamanya. Ingat! Selamanya! Aku yakin, hidupmu akan berubah menjadi lebih tenang setelah melakukannya.

Mika, kumohon menikahlah dengan Alva, kekasihku. Aku bisa pergi dengan tenang setelah kau benar-benar bersamanya. Alva adalah orang yang tepat untuk menemani hidupmu setelah aku pergi. Tidak usah khawatir, aku sudah mengatakan semua ini kepada Alva. Kalian hanya perlu berbincang sebentar untuk mencairkan suasana. Kupikir, sifat kalian yang hampir sama akan membuat pernikahan ini berakhir bahagia.

Kalau kau tidak mau menikah dengan Alva, aku bersumpah akan menggentayangimu setiap malam!

Kakak manismu,

Mira Andira.

***

Mika menutup kertas itu dengan pelan. Air mata sudah keluar dari pelupuknya sejak tadi. Genap seminggu sejak kepergian Mira, namun Mika masih belum sanggup mengikhlaskan. Hidupnya semakin terasa kosong, karena memang mereka hanya hidup berdua. Orangtua mereka sudah lama bercerai saat Mira masih duduk di bangku sekolah dasar.

Saat itu Ayah Mira yang ketahuan selingkuh dengan seorang wanita lain hanya bisa menundukkan kepalanya di hadapan Ibu Mira. Lelaki tua itu sudah berani bermain hingga menghamili selingkuhannya, Lina, ibu Mika. Jadi jangan heran kalau Mira dan Mika terpaut usia yang cukup jauh.

Ayah Mira lebih memilih selingkuhannya. Ibu Mira pun depresi berat hingga terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa sampai sekarang. Sedangkan Ayah dan Ibu Mika, mereka telah meninggal karena kecelakaan beruntun yang terjadi tepat di hari ulang tahun Mika yang ke enam tahun.

Dan dua hari yang lalu, Mika memutuskan untuk masuk Islam, meninggalkan agama nenek moyangnya. Seperti kata Mira, beberapa tahun yang lalu gadis itu memang sudah mempunyai keinginan untuk menjadi muslimah. Bahkan setelah muallaf, ia langsung memantapkan diri untuk berhijab.

"Sudah kukatakan kalau aku tidak pernah berbohong. Apalagi tentang wasiat itu."

Mika mengusap air matanya kasar. Ia menatap tajam wajah lelaki yang kini tengah berbaring di brankar rumah sakit. Perban di daerah bahu dan pinggangnya masih terlihat jelas. Karena memang dokter menganjurkan Alva untuk tidak memakai baju hingga lukanya benar-benar kering dan pulih.

Sudah seminggu ini Alva dirawat di rumah sakit. Lelaki itu mengalami luka parah di bagian bahu dan pinggang sebelah kanan, akibat dari tikaman seseorang yang juga sudah membunuh kakaknya. Alva dan Mira ditemukan di sebuah kamar mandi apartement dengan keadaan bersimbah darah. Mira tidak terselamatkan, luka di perutnya sangat parah. Nadi di lehernya juga sudah putus. Namun yang menjadi janggal menurut Mika adalah kasus ini tiba-tiba ditutup sepihak, penyelidikan tidak dilakukan lagi, dan polisi selalu berusaha tutup mulut jika Mika mencercanya.

"Berhentilah memikirkan sesuatu, Kita akan menikah dua hari lagi."

Mika melotot, "Hah? Bagaimana bisa?" Ia menjauhkan kursinya dari brankar Alva. Takut jika lelaki itu berbuat nekat padanya.

"Oh, mau sekarang?" Alva langsung berdiri di hadapan Mika setelah melepas paksa infus yang sempat bertengger di tangannya. Sedikit pun lelaki itu tidak meringis kesakitan setelah menegakkan tubuhnya.

Alva kembali duduk di tepi brankar. Ia menarik kursi Mika dengan sebelah tangannya. Lalu menundukkan kepala, mempersempit jarak di antara mereka. "Kalau aku bicara, cukup turuti saja! Jangan membantah!" Bisik Alva di telinga Mika.

Gadis itu membalas ucapan Alva tak kalah tajam. "Apa maksudmu? Kau tidak berhak mengatur hidupku. Aku bisa hidup sendiri." Mika nekat beranjak dari kursi dengan melompat, tidak ada jalan lain karena Alva sudah mengungkungnya.

Gadis berkerudung itu berlari menuju pintu. Ia ingin segera pergi dari sana, berdua dengan Alva tidak akan membuatnya tenang. Tapi tampaknya, pintu itu sudah terkunci hingga percobaan kaburnya gagal. Ia sudah mencobanya berkali-kali, tetap saja pintu itu tidak bisa terbuka. Jantungnya berdegup kencang, Alva semakin mendekat ke arahnya. Lelaki itu tersenyum miring, menatap lawannya yang tidak bisa berkutik.

"Kau bisa hidup sendiri? Gajimu sebagai penjahit saja tidak mampu untuk membayar hutang-hutang orangtuamu. Apalagi biaya hidupmu."

Dengan sekali hentakan, Alva berhasil memerangkap Mika dalam tangannya. Lelaki itu membalikkan tubuh Mika, membuat mata tajamnya bertatapan langsung dengan wajah cantik gadis itu.

Ssreekkk

Alva baru saja menyobek bajunya dengan tangan kosong. Bulu kuduk Mika meremang. Ia yakin, bagian belakang tuniknya sudah tidak utuh lagi. Gadis itu bisa merasakan bagaimana dinginnya knop pintu yang membentur punggungnya.

"Jangan bermain-main denganku, Mika Farastika! Ini baru bajumu yang aku sobek. Jika kau berani membantahku lagi, maka aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengulitimu!"

Alva menjauhkan dirinya dari Mika yang masih mematung. Lelaki itu kembali berjalan menuju brankar, mengambil kaosnya dari nakas, lalu memakainya.

"Jangan diam saja! Cepat pakai jaketku! Kita akan pulang bersama!"

***

Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengupload ulang cerita ini gais😭 mohon dukungannya🙏

si_melon💜

Mr. GlowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang