•Nine•

15 3 0
                                    

~oOo~

Makan malam yang terasa tidak berkesan sama sekali bagi Yudi. Pada saat orang lain merasa senang bisa berkumpul bersama, dia justru sebaliknya. Alex selalu menganggunya sejak kecil. Membuat Yudi kadang berfikir lebih baik dia menjadi anak tunggal atau dia lahir di keluarga orang lain. Namun kebersamaan yang saat ini lebih sering dia lihat pada Amel dan Alana, dia tahu dari sorot mata mereka jika mereka selalu ingin melindungi dan menjaga satu sama lain namun yang namanya bersaudara, mengungkapkan rasa kasih sayang terhadap saudara tidak semudah kita mengucapkan kalimat, “Aku mencintai kamu” pada seseorang yang kita sukai.

Sedangkan dari sisi Alex, Yudi adalah adik satu-satunya yang sangat dia sayang meskipun Yudi tidak pernah sadar akan hal itu. Sikap kaku yang dimiliki Yudi selalu membuatnya berfikir keras bagaimana cara untuk mengajak adiknya itu bicara meskipun sedikit saja. Awalnya, dengan menjahilinya bisa membuat Yudi setidaknya bisa memberikan sedikit perhatian padanya, namun Alex salah. Hal itu justru semakin membuatnya tertarik untuk melakukan lebih dan membuat Yudi yang semakin risi padanya.

Terkadang, dia selalu ingin terlihat seperti anak bersaudara pada umumnya, di mana dia akan pergi bersama dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama tanpa susah payah memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan perhatian Yudi.  Dia sering mengatakan kepada Yudi jika menjadi introvert itu tidaklah baik, terlebih saat dia memendam perasaan yang tidak pernah dia bagi pada siapapun karena sejak kecil setiap masalah yang dia hadapi selalu dia tutupi sendiri. Yudi lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian di kamar dengan origami dan kertas berwarna yang entah dia jadikan apa.

***

Jika Yudi dinobatkan sebagai laki-laki tampan nan dingin, berbeda halnya dengan Abi. Bad boy tampan yang juga pintar di sekolah. Bahkan dia kerap dijuluki ‘The Most Wanted’ di sekolah. Sebenarnya jika dibandingkan dengan Yudi, mereka itu sama saja. Bedanya, Yudi terkesan cuek yang membuat sebagian perempuan justru memilih mundur dengan terpaksa jika mengharapkan Yudi. Berbeda dengan Abi yang bisa dekat sana sini dan mengumbar kata-kata romantis pada semua perempuan di sekolahnya meskipun rata-rata dari mereka semua hanya Amelia yang dia perlakukan lebih spesial.

Abi berjalan menyusuri koridor dengan rambut berantakannya seperti biasa. Muka masam ditambah lagi seragam sekolah yang tidak ia masukan ke dalam celana, persis seperti murid berandalan di sekolahnya. Jika dilihat dari penampilan, Abi justru lebih cocok menjadi biang kerok. Namun, kepintaran yang ia miliki mengalahkan image buruknya.

Selalu ada sapaan untuk setiap perempuan yang berpapasan dengan Abi. Entah hanya berupa ucapan selamat pagi atau kerlingan sebelah matanya yang mampu membuat setiap perempuan baper dan gigit jari. Abi menghentikan langkahnya sebentar saat dari kejauhan dia melihat Amel sedang berjalan menyusuri koridor dengan memijat keningnya. Abi menyisir rambut berantakannya ke belakang menggunakan sela jari dan berjalan pelan ke arah Amel.

“Pagi, Amel,” sapa Abi saat mereka sudah berhadapan.

Amel melirik Abi sebentar lalu berjalan melewatinya begitu saja. Tidak ada niat membalasnya sama sekali.

“Amel. Abi. Amel. Abi. Kayaknya kalau kita nikah cocok deh, sama-sama huruf depan A. enaknya kalau punya anak mau kita kasih nama apa ya??” bukan Abi namanya jika dia tidak mengekori Amel kemana-mana. Bahkan saat ini dengan warasnya dia mengatakan hal yang mustahil.

“Najis.”

Hanya jawaban satu kata saja yang dilontarkan Amel pada Abi. Kepalanya sudah pusing sejak kemarin malam dan gangguan Abi sepagi ini membuat kepalanya makin sakit.

“Apanya najis? Jelek ya? apa dong yang bagus?” tanya Abi sekali lagi. Amel mendengus. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Abi lekat. Jika orang lain merasa takut dengan tatapan intimidasi milik Amel, lain halnya Abi justru menikmatinya karena baginya kecantikan Amel menguar 360 derajat.

ILD [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang