Pukul 19.00 akhirnya Amel bisa merasakan ketenangan. Beberapa jam bersama Yudi membuat detak jantungnya bekerja tak beraturan. Dia tidak nyaman sebab tidak pernah berada sedekat itu dengan cowok. Jadi ini baru pertama kali baginya.
Setelah mengguyur tubuhnya dengan air di shower, mengeringkan rambut, minum susu putih yang menjadi rutinitasnya setiap malam Amel menuju ke ruang tengah. Dia meraih remote tv di samping sofa, menghidupkan televisi kemudian mencari channel yang bisa mengusir kegabutannya malam ini.
Sesekali Amel melirik ke arah jam dinding. Adiknya Alana belum pulang sejak sore tadi. Amel sebenarnya lelah melarang Alana untuk keluyuran, pergaulan anak itu sudah tidak terkendali lagi tapi apa daya jika wajah muram adiknya membuatnya menjadi makin tak enak hati.
“Mending gak punya adik sekalian, kan? Daripada punya malah nyusahin,” gerutu Amel. Dia menonton televisi, tapi pikirannya justru melayang jauh memikirkan kabar adiknya. Jangankan menelpon, dia bahkan tidak berpamitan saat pergi tadi.
Pintu rumah terdengar terbuka lima belas menit setelahnya. Amel menoleh, tidak ada yang masuk. Dia mengernyitkan dahi, menebak-nebak siapa yang iseng dengannya malam-malam begini? Disaat kondisi rumahnya justru sepi.
Amel melirik lama ke arah pintu, pintunya terbuka namun tidak ada tanda-tanda ada orang yang akan masuk. Perasaanya semakin was-was. Takut jika yang dikatakan Yudi tadi sore benar jika tinggal sendiri adalah bahaya. Amel mengambil sebuah sapu ijuk yang tergeletak di samping dapur, dia memegangnya kuat-kuat sembari melangkah pelan menuju pintu. Tubuhnya begetar hebat, jantungnya bedetak kencang. Dia sendiri tidak bisa bisa menebak apa yang sedang menunggunya di depan sana. Jika memang bahaya, setidaknya sapu itu bisa menyelematkannya. Toh dia juga perempuan kuat kan? Berbekal ilmu karate yang pernah dia pelajari hanya seminggu, dia memberanikan diri mendekat ke arah pintu. Amel memasang kuda-kuda. Dia merutuki kebodohannya yang hanya belajar karate singkat waktu. Bahkan pelajaran dasarnya hanya dia pelajari beberapa saja.
“Mati lo! Mat---“ Amel menahan gerakannya. Sapu yang hendak dia arahkan menggantung di udara dengan mulutnya yang masih terbuka dan terdiam.
“Gila! Sumpah lo gak lucu! Lo tau kan sepanik apa gue? Apa susahnya kalau lo ijin atau bilang dulu kalau mau datang?” Amel sudah menurunkan sapunya. Memandang ketus ke arah cowok yang kini ada di hadapannya.“Maaf, Mel. Gue telfon lo selalu gak angkat. Gue cuma mau ambil buku gue yang ketinggalan. Tadi gue mau ketuk tapi pintunya kebuka sendiri. Salah siapa dong?”
Baiklah, rasanya ketenangan Amel hari ini benar-benar diuji.“ Lo tunggu di sini!” ucap Amel. Dia masuk ke dalam rumah, menaiki tangga menuju kamarnya. Dia memeriksa buku yang tadi digunakan untuk bimbingan. Ada buku tebal bersampul biru di sana. Itu milik Yudi. Gara-gara buku itu, dia hampir saja berniat melenyapkan musuhnya.
“Nih! Lain kali awas ya lo sengaja tinggalin buku di sini,” ancam Amel.
Yudi memberinya tatapan bingung. Amel mencurigainya yang sengaja meninggalkan buku?
“Sekarang lo boleh pergi,” ucap Amel setelah menyerahkan buku milik Yudi. Yudi masih diam di posisinya. Dia mungkin bisa saja meminta buku itu esok hari, tapi dia ingin menemani Amel malam ini, dia seperti mendapat firasat kalau Amel sekarang sedang sendirian.
“Ngapain masih diem? Tuli?” ketus Amel saat Yudi masih saja diam di tempat.
“Lo sendiri?” tanya Yudi. Dia melirik ke dalam rumah yang nampak tak berpenghuni.“Adik gue belum dateng. Yaudah sih pergi aja! Lo kira gue penakut?”
“Kalau lo berani, ngapain bawa sapu sampe tangannya gemetaran gini?” Yudi meraih tangan Amel. Amel menelan ludahnya susah payah, seketika ia merasakan jantungnya berdegup kencang lagi. Dia melepaskan pegangan Yudi. Menahan gugup yang tiba saja menyerangnya.
Suara klakson mobil terdengar. Itu mobil milik Alana. Dia baru saja memakirkan mobilnya kemudian datang dengan berjingkrak sambil menenteng beberapa paper bag.
“Eh, ada tamu, ya? Kenalin.” Alana mengulurkan tangannya. Yudi membalas uluran tangan Alana. Dia melanjutkan, “aku Alana. Adik satu-satunya kak Amel.”“Yudi, teman sekelas Amel,” balas Yudi. Alana tersenyum, setelah mengangguk dia masuk ke rumah dengan santainya. Bahkan dari luar nyanyian Alana di dengar jelas oleh Amel dan Yudi. Sepertinya dia sedang bahagia.
“Lo bisa pulang sekarang,” ketus Amel.
Kali ini Yudi menurut. Setidaknya kepulangan Alana membuat khawatirnya mereda karena Amel tidak lagi sendirian. Setelah kepergian Yudi, ia buru-buru masuk ke dalam rumah. Di sana, dilihatnya Alana sedang sibuk memilih-milih beberapa pakaian yang ada di paper bag.“Katanya gak punya uang. Ini dapet dari mana?”
“Pacar aku, Kak,” jawab Alana santai. Amel saat itu pula membulatkan matanya. Sejak kapan Alana punya pacar? Lebih tepatnya, sejak kapan dia pacaran tanpa memberitahu kakaknya?
“Kakak gak ngelarang kamu bergaul ya, Dik, tapi sekarang kamu itu bener-bener kelewatan! Ngapain kamu ngemis minta dibeliin barang sama cowok?” Mata Amel memanas. Segala petuah darinya benar-benar diabaikan oleh Alana begitu saja.
“Kak Amel. Dia itu baik. Liat nih, dia juga beliin kakak. Lagian pacarku tajir, beliin barang segini doang mah gak masalah dianya.”
“Tapi kamu gak boleh gini! Bagaimana kalau dia ada maksud tersembunyi dibalik semua ini? bagaimana kalau nanti dia minta hal yang lebih ke kamu?” Amel menatap mata Alana intens. Sedangkan Alana, dia bahkan menatap Amel dengan cengirannya seolah apa yang dia lakukan biasa saja.
“Kak, kita ini beda …” Alana menjeda kalimatnya. Dia mengambil satu dress berwarna biru yang baru saja dibelinya. Memberikan dress itu pada Amel. “Dia itu cowok baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Jadi kakak gak perlu khawatir, aku pasti bisa kok jaga diri,” sambungnya lagi.
Amel mencengkeram bahu Alana. Dia menatap Alana lekat. Kemarahannya sudah memuncak dengan sikap adiknya yang tidak bisa dibilangin. Amel berkata,“enggak! Kita ini cuma tinggal berdua! Kalau kayak gini caranya, sama aja kamu membuat Kakak gagal jagain kamu! Harusnya kamu inget kalau Ibu udah gak ada! Ayah sibuk kerja. Siapa yang bakalan jagain kamu kalau bukan Kakak? Pokoknya gak boleh! Kakak gak larang kamu temenan sama siapapun tapi jangan mau nerima apapun dari cowok! Ngerti?” Dengan segenap nada tegas dan marah yang dia punya Amel mencoba menjelaskan.
Namun yang terjadi bukannya merasa bersalah, mata Alana justru berkaca-kaca. Sekeras itukah Amel memarahinya? Hanya karena dia menerima pemberian pacarnya sendiri?
Alana melepaskan cengkeraman Amel. Dia mengumpulkan semua barang yang di belinya. Sebelum pergi ke kamar, Alana berkata, “Kakak bisa gak percaya sama siapapun! Tapi jangan samain aku sama prinsip Kakak! Kita itu beda! Aku gak bisa nyari kebahagiaan hanya dengan diam di rumah kayak Kakak! Ibu udah gak ada, gak ada yang bisa membuat Lana ngerasa nyaman lagi di sini, apalagi Kakak selalu sibuk sama urusan Kakak sendiri! Salah kalau Lana nyari kebahagiaan di luar sana? Salah kalau ada orang yang bisa memberi Lana perhatian lebih dari Kakak? Jahat!”
Alana berlari menuju tangga. Air matanya sudah turun deras disaat Amel memarahinya. Dia hanya mencoba mengalihkan kesepian yang dia rasakan tapi semua itu justru dianggap salah oleh kakaknya sendiri.
Amel mematung. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan. Tidak ada lagi yang bisa dia cerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh Alana adalah kesalahannya. Semua sikap yang Alana lakukan hanya untuk menghindari kesunyian yang selama ini Alana rasakan setelah dia hidup tanpa orang tua. Namun, ketakutan yang Amel miliki justru membuatnya terlihat terlalu mengatur Alana yang nyatanya bisa mencari kebahagiaanya sendiri tanpa dirinya.Amel menangis. Belum pernah dia bertengkar sehebat ini dengan adiknya. Dulu, saat kecil ibunya selalu berpesan agar Amel menjaga adiknya baik-baik. Memastikan kebahagiaan adiknya sebab di antara mereka, Alana lah yang paling sedikit mendapatkan perhatian. Ibu mereka meninggal saat mereka masih berusia sepuluh tahun. Semenjak saat itu Amel berusaha untuk menjadi orang yang kuat. Ada tanggung jawab besar yang dipegangnya. Dia harus bisa menjadi ibu sekaligus seorang kakak untuk Alana. Meskipun hari ini, maksudnya justru disalah artikan oleh Alana.
¤¤¤
WPWT Teen Fiction 1
By Keywiliaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ILD [END]
Novela JuvenilAmelia Prameswari adalah gadis pintar yang selalu mengandalkan kepintaranya untuk melawan penindasan yang kerap dilakukan oleh teman sekelasnya. Kekecewaan yang dia rasakan saat Wahyudi Radika pernah merebut posisinya membuatnya membenci teman sekel...