“Ngapain?” tanya Amel pada Cahya. Hanya tatapan kekesalan yang Amel berikan pada Cahya, berbeda dengan Cahya yang justru memasang topengnya.
“Bisa gak sih lo bersikap baik ke gue sekali aja? Lo kekurangan kelompok kan? Jadi gue bisa masuk,” jawabnya. Cahya bahkan tidak peduli dengan tampang sebal Amel. Dia duduk di antara Nimas dan Dinda, meletakan beberapa buku dan lembar pembukuan lalu memainkan ponselnya.
“Gak ada yang boleh santai kalo mau berkelompok sama gue! Jangan harap bisa enak-enakan cuma numpang nama dan nerima beres doang,” ketus Amel kini yang membuat Cahya menatapnya.
“Lo kan pinter Mel, sedangkan gue bego makanya gue mau sekelompok sama lo. Kalo enggak, ya ngapain coba gue di sini?” Cahya kembali memainkan ponselnya. Mengabaikan Amel yang sudah tersulut kemarahan.
“Siapa suruh otak isinya cuma dengkul sama cowok doang? Sekali-kali belajar biar pinter!” Amel menjeda kalimatnya, dia menarik lembar pembukuan milik Nimas lalu menyeringai kecil, menatap kembali wajah Cahya yang membuatnya tampak kebingungan dengan sikap Amel. “Lo tau? Gue lebih suka berkelompok sama orang bego tapi mau belajar daripada sama orang yang cuma pinter ngandelin temennya. Basi tau gak sih, lo nyari gue pas perlu doang!”
Kalimat terakhir Amel membuat Cahya sebal. Bahkan sekarang banyak sekali tatapan risih dari semua anak-anak di kelas padanya. Sudah lama Amel tidak menyukai Cahya. Awalnya dia biasa dengan sikap Cahya namun lama-lama Cahya menjadi seenaknya. Popularitas yang dia miliki membuatnya selalu angkuh dan merendahkan orang lain, namun di saat dia memerlukan bantuan dia akan menggunakan topengnya untuk memelas kasihan. Banyak siswa yang tidak berani melawannya, alasannya karena Cahya dikenal memiliki mulut yang lebih pedas dari cabai.
“Lo sebenarnya ada masalah apa sih ke gue? Heran deh, kesel mulu perasaan kalo gue ada,” tanya Cahya. Jika bukan karna tugas Akuntansi yang menurutnya sulit, Cahya tidak akan merengek seperti ini meminta bergabung.
“Banyak! Kalo gue bilang semuanya gue takut lo mati mendadak karna ingat sama dosa-dosa yang udah lo buat ke gue,” jawab Amel yang membuat Cahya semakin geram. Salah satu orang yang sulit Cahya buat tunduk hanya Amel.
“Udah, Mel udah! Mending kita kerjain tugasnya. Nanti keburu waktu lho,” ucap Dinda menengahi. Jika dibiarkan berlanjut, pertengkaranlah yang akan terjadi.
“Inget ya, kalo lo masih mau di sini enggak usah sok jadi ratu yang cuma nerima beresnya doang! Lo cuma boleh nyontek kalau lo emang gak ngerti! Selebihnya kerjain sendiri! Enggak ada pengecualian karna semua orang gue perlakuin adil,” jelas Amel yang kini justru membuat Cahya terdiam.Sejak kecil Amel memang dididik agar bisa membela diri. Sebab dia tinggal hanya bersama adik dan Ayahnya. Ketiadaan seorang Ibu di sisinya membuat Amel belajar segalanya sendirian. Dia mencoba menjadi pengganti sosok Ibunya untuk adiknya karna Ayahnya selalu sibuk bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Hening beberapa menit di kelas. Beberapa siswa ada yang memijat keningnya karena sudah mulai stress, beberapa ada yang mengerjakan tugas dengan earphone yang menempel di telinga, beberapa siswa juga nampak mondar-mandir menanyakan rumus atau mencocokan jawaban, lebih tepatnya mereka mondar-mandir di meja Amel.
“Mel, kenapa bisa beda? Gue salah ya?” tanya Anggis. Dia mencocokan laporan ekuitas miliknya yang hasilnya berbeda dengan milik Amel.
“Mana gue liat.” Amel meneliti jawaban milik Anggis, dia tersenyum saat mengetahui letak kesalahan yang Anggis buat.
“Ini harusnya lo tambahin di sini, terus kurangin di sini,” jawab Amel sambil menunjuk akun laba dan penambahan modal yang seharusnya ditulis pengurangan modal.
“Beda ya sama rumusnya Bu Rina?” Anggis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semakin bingung dengan penjelasan Amel kali ini.
“Enggak. Rumusnya emang gitu, antara laba sama rugi beda konsep. Buku paket halaman 175, di sana ada banyak rumus penyelesaiannya,” jelas Amel yang kini hanya dibalas anggukan oleh Anggis. Setelah berterimakasih, Anggis pamit menuju mejanya.
Keheningan kembali melanda kelas Akuntansi lagi. Sudah satu jam lamanya mereka berkutat pada pembukuan. Amel juga sama, bedanya diantara semua murid di kelas hanya Amel yang paling santai mengerjakannya.
“Mel, gue mau liat punya lo.” Cahya hendak menarik lembar pembukuan Amel namun akhirnya ditepis begitu saja.
“Lo diajarin sopan santun gak sih? Kalo lo bingung boleh nanya tapi jangan ngambil punya orang seenaknya gitu!”
Cahya mendesah pelan. Menghadapi Amel yang sudah terlanjur tidak menyukainya membuatnya harus ekstra sabar. Semua yang Cahya lakukan bahkan terkesan salah di mata Amel.
“Oke oke. Gue gak ngerti bagian ini. Lo bisa kan ajarin gue?” dan ini pertama kalinya Cahya mengeluarkan kata-kata lembut seperti itu. Dia menyerah menghadapai Amel.
Amel melirik soal yang ditanyakan Cahya, mengambil kertas kosong dan mencatat beberapa rumus di sana. Cahya menerima kertas itu, menepuk keningnya sekali. Dia benar-benar menyerah kali ini. Dia lemah dalam hal menghitung tapi Amel justru menyulitkannya dengan memberikan rumus yang tidak dimengertinya sama sekali. Cahya pun bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah meja Yudi dan menggeser satu kursi kosong di depannya.“Di, minta ya?” pinta Cahya yang masih dapat di dengar Amel. Amel melihat ke arah mereka berdua, melihat interaksi antara dua orang yang dulu sempat menjalin kasih beberapa hari.
Seperti dugaannya sebelumnya, Yudi menyerahkan lembar pembukuan dengan sukarela kepada Cahya, membuat Cahya berbinar setelahnya.
“Bucin,” gumam Amel.
“Cahya cantik ya, pantes Yudi belum bisa move on.” Ucapan Nimas kali ini membuat Amel merasa tertarik. Dia ingin mendengar sejauh apa pesona yang dibuat Cahya pada salah satu cowok dingin di kelasnya ini.
“Tapi dia kan suka jahat, dia bahkan udah ngomongin gue yang enggak bener baru pacaran sama Kak Rendy,” ucap Devi.
“Enak ya jadi cewek cantik. Semua orang suka, semua orang nyari-nyari. Bahkan sampe mohon-mohon biar bisa deket,” ucap Nimas. Tangannya masih sibuk menghitung, mencatat jawaban namun mulutnya tidak berhenti memuja Cahya.
“Buat apa cantik kalo bisanya cuma nyakitin temen? Seleranya Yudi doang yang rendah, suka cuma karna fisik doang.”
“Bener. Mungkin Yudi udah dipelet si Cahya sampe tunduk kayak begitu.” Ucapan Amel kali ini justru mendapat jitakan dari Dinda. Dia selalu saja suka seenaknya main fisik saat Amel mengatakan hal yang tidak masuk akal.
Tiga puluh menit setelahnya Bu Rina masuk kelas. Mengumpulkan lembar pembukuan semua murid. Seketika kelas menjadi gaduh, ada yang baru selesai setengahnya, ada yang baru selesai sedikit sekali dan ada yang masih kebingungan. Bermacam-macam ekspresi menghiasi wajah mereka semua. Jika tidak setegang ini, mungkin Amel akan menertawakan teman-temannya.
Selesai mengumpulkan semua tugas, Bu Rina mengambil selebaran berwarna biru yang tidak seorang pun tau apa isinya.
“Jadi, bulan depan sekolah kita diundang untuk mengikuti Olimpiade Akuntansi. Ibu sudah memutuskan siapa saja dua orang yang akan mewakili sekolah kita kali ini. Besok, Amel sama Yudi tolong cari Ibu di ruang guru ya,” pinta Bu Rina. Tadinya Amel berbinar kala mendengar Olimpiade Akuntansi namun seketika ekspresi senangnya lenyap kala mendengar bahwa dua nama yang akan mewakili sekolahnya kali ini.
“Bu, siapa yang mewakili sekolah?” Amel mengacungkan tangannya, bertanya sebelum Bu Rina beranjak meninggalkan kelas.
“Kamu temui Ibu aja dulu besok. Kita adain seleksi sebentar. Tapi satu murid yang pasti cuma kamu, cuma belum pasti siapa yang menjadi temanmu,” jelas Bu Rina. Dia kemudian meninggalkan kelas setelah mengucapkan salam pada semua murid kelas Akuntansi.
Rasa penasaran menyelimuti Amel kali ini. Belum pernah dia segugup sekarang. Bukan masalah Olimpiade, tapi tentang siapa yang akan Olimpiade bersamanya. Firasatnya mengatakan jika kemungkinan terbesar adalah Yudi atau Anggis, namun mengingat nama Yudi yang disuruh datang menemui Bu Rina bersamanya membuatnya semakin khawatir. Dia tidak ingin terlibat hal apapun bersama Yudi. Saingannya selama ini. Jika itu sampai terjadi, artinya kemungkinan jika Yudi akan menggeser posisinya semakin mudah.
¤¤¤¤
WPWT Teen Fiction 1
By Keywiliaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ILD [END]
Fiksi RemajaAmelia Prameswari adalah gadis pintar yang selalu mengandalkan kepintaranya untuk melawan penindasan yang kerap dilakukan oleh teman sekelasnya. Kekecewaan yang dia rasakan saat Wahyudi Radika pernah merebut posisinya membuatnya membenci teman sekel...