Bungo Lado

527 86 28
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
Kami tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.

Chapter III
"Bungo Lado"
oleh
Nyankuro Cat

.

.

.


"Ini ... di mana?"

Tiga kata itu meluncur dari bibir seorang remaja bernama Solar manakala ia berdiri di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Seperti pemandangan desa nan asri yang belum terjamah oleh kemajuan teknologi.

"Oke, tenang dulu! Ingat apa yang terakhir kali kau lakukan, Solar..."

Bagi Solar, mengingat sesuatu adalah perkara mudah. Ia memang memiliki kelainan yang membuatnya tak akan melupakan hal apapun yang pernah ia lihat atau dengar. Suatu anugerah luar biasa yang tak akan pernah didustakannya. Bahkan hingga kini Solar masih mengingat jelas bagaimana sang kakak, Halilintar, bisa terperosok ke dalam got saat ia sendiri masih di usia wajib pakai popok.

"Belikan aku bakso di warungnya Gempa."

Nah, Solar langsung mengingat pesan Halilintar via telepon semasa ia pulang sekolah. Usai berkomunikasi, ia duduk di bangku depan minimarket. Angin sepoi-sepoi membelai-belai wajahnya lembut hingga ia-

"Ah," Solar bergumam. "Ini mimpi! Hmm, begitu rupanya. Jadi, ini yang namanya lucid dream ?" Solar manggut-manggut penuh rasa puas. Merasa bangga akan kemampuan yang dimilikinya.

Sesaat kemudian, seorang bocah yang lewat bersama ibunya di pinggir jalan, berteriak.

"Mak, caliak uda, tu! Mangecek surang macam paja gilo."

"Hush! Padia se lah!"

Solar merasa tertohok.

- - -

"Ada perayaan, ya?"

Setelah menyusuri jalan tanah tanpa tujuan, Solar berhenti saat melihat sebuah balai di tengah lapangan kecil dengan atap yang melengkung ke atas seperti kepala banteng. Ramai orang berdatangan mengerubungi tempat yang mungkin adalah balai desa itu.

Di depan balai itu, Solar dapat melihat semacam patahan dahan pohon yang dihias dengan apik. Kertas-kertas berbagai warna melekat menghiasi cabang-cabang dahan pohon itu. Solar melongok sedikit, baru menyadari kertas yang ditempel adalah lembaran-lembaran uang dengan nominal beragam. Ia melongo, tak mengerti apa yang diadakan oleh penduduk desa ini.

"Ee, adiak! Manga mancaliak-caliak se di siko?" seorang pria menepuk pundak Solar membuat remaja itu terperanjat.

"Eh? Umm ..." pemuda berkacamata itu panik. Solar tidak sepenuhnya mengerti dengan bahasa penduduk lokal. Namun, pria berkulit gelap itu masih memegang pundak kanannya, menunggu dirinya memberikan jawaban.

Tiba-tiba, seorang remaja lelaki semurannya datang menghampiri.

"Uda mangecek jo siapo tu?"

Manik kelabu Solar sempat bertumbukan dengan netra pemuda asing, berusaha mengirimkan tatapan yang kurang lebih berarti, "selamatkan aku dari situasi ini, please!"

Seolah mengerti sinyal kecemasan dari Solar, pemuda itu berseloroh.

"Eh, kawan awak ko, Da. Inyo marantau dari jauah. Baru tibo di siko kapatang."

"Ooh ..." gumam pria itu melepaskan cengkramannya. Ia bercakap lagi sebentar, kemudian meninggalkan Solar beserta pemuda itu di tepi jalan.

"Err ... terimakasih," ucap Solar canggung.

"Ahahaha, bukan masalah," pemuda itu membalas ramah. "Oh ya, panggil saja aku Siddiq. Namamu?"

Solar menghela nafas lega. Ia merasa lebih mudah berkomunikasi dengan orang ini.

"Aku Solar."

"Jadi, kamu baru merantau ke sini?"

"Ehm ... ya, begitulah ..." dusta Solar. Ini mimpi teraneh yang pernah ia dapat selama enam belas tahun hidupnya. "Hmm, Siddiq, sebenarnya ini di mana? Dan di sana sedang apa?" Solar menunjuk keramaian di depan.

"Eh, kamu tidak tahu?"

"A-aku baru datang ... jadi tak terlalu ingat semua hal di sini."

"Sekarang kamu di Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Mereka yang di sana sedang bersiap untuk upacara Bungo Lado," jawab Siddiq.

Solar mengangguk. Dari buku yang pernah ia baca, Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia, negara serumpun Malaysia.

"Lalu, Bungo Lado itu apa?"

"Bungo Lado adalah acara untuk merayakan hari lahirnya Baginda Nabi Muhammad. Kegiatan ini-"

"Apa? Tunggu, memangnya sekarang tanggal berapa?"

"Hm? Tentu saja 12 Rabi'ul Awwal."

"Maksudku, tahun masehi."

"Tiga puluh Januari 1980."

Solar pening. Waktu dalam mimpinya mengalami disorientasi terlalu jauh.

"Baiklah ... bisa lanjutkan penjelasanmu?"

"Ya. Bungo Lado adalah acara memeringati Maulid Nabi di Sumatera Barat, terutama di Padang Pariaman. Para penduduk berkoordinasi dengan organisasi karang taruna atau pemuda setempat untuk mengumpulkan sumbangan. Semua hasilnya dikumpulkan dan dibuat menjadi pohon hias seperti pohon uang yang disebut Bungo Lado. Bungo Lado akan diarak mengelilingi desa, lalu disedekahkan ke satu masjid atau surau untuk kepentingan pembangunan dan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan masjid atau surau tersebut."

Solar berdecak kagum pada sifat gotong-royong di tanah Sumatera Barat yang baginya sangat kuat.

"Setelah menyedekahkan semua itu, kita semua mengadakan makan bajamba di masjid yang kita datangi."

"Bajamba?"

"Iya. Acara makan bersama semua penduduk. Kita semua akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil secara acak. Lalu, tiap kelompok menyantap makanan yang sudah disediakan di atas satu dulang bersama-sama. Kau mau ikut?"

"Tapi, aku 'kan, orang baru di sini."

"Tidak apa-apa. Aku bilang pada paman tadi kalau kamu adalah temanku. Jadi, kamu boleh ikut kalau mau."

Solar mengiyakan tawaran tersebut, mengikuti penduduk yang mulai mengarak pohon Bungo Lado mengelilingi desa. Alunan sholawat terdengar semarak selama perjalanan, mengiringi langkah mereka penuh sukacita. Solar pun tanpa sadar ikut bersenandung mengikuti lantunan merdu yang tak henti-henti hingga mereka tiba di masjid tujuan.

Setelah penyerahan Bungo Lado untuk sedekah masjid, makan bajamba diadakan di lapangan masjid. Begitu selesai pembukaan berupa pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan pantun, ia duduk bersama Siddiq dan lima lelaki lain mengelilingi sebuah dulang. Nasi yang telah dibagi porsinya disajikan dengan berbagai lauk yang menggugah selera.

Kelompok laki-laki dibedakan dengan perempuan. Namun, semuanya tetap berinteraksi dengan harmonis. Memerlihatkan kerukunan dan kekeluargaan yang tampak solid. Solar mulai menikmati acara di mimpinya itu. Sesekali bergurau bersama warga meskipun mereka tak saling mengenal.

"Baiklah, aku mau pulang," ujar Solar setelah rangkaian acara hari itu tuntas. Siddiq menoleh mengukir kurva senyum di wajahnya.

"Datanglah lagi lain waktu, Solar."

"Tentu saja. Terimakasih, Siddiq."

Pandangan Solar perlahan memburam. Saat mencoba mengambil lagi fokusnya, ia mendapati dirinya telah kembali di depan minimarket. Mimpi panjangnya telah berakhir.

Solar tersenyum tipis, lantas mengirimkan pesan yang membuat sang kakak ternganga di seberang sana.

"Bang Hali, maulid tahun ini ke Indonesia, yuk?"

Fin.

Corak KhatulistiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang