BoBoiBoy milik Animonsta Studios
Kami tidak mengambil keuntungan materi apapun dari sini.Chapter IV
"Angklung"
oleh
sekayliber.
.
.
Selama mengikuti program pertukaran pelajar dari kampusnya, Halilintar tinggal di rumah seorang warga lokal di sebuah desa bernama Linggarjati. Pertama kali menginjakkan kakinya di desa itu, matanya dimanjakan oleh pemandangan Gunung Ciremai yang menjulang tinggi di sebelah barat, area pesawahan, perkebunan dan pemukiman warga yang masih asri. Sesuai dengan semboyan Kabupaten Kuningan yaitu Kuningan ASRI-Aman, Sehat, Rindang dan Indah.
Namun perubahan temperatur yang mendadak membuat Halilintar sempat mengalami gejala flu dan masuk angin. Pasalnya, letak desa itu yang berada di kaki Gunung Ciremai membuat suhu di sana cukup dingin meski di siang hari, sangat berbeda dengan Kuala Lumpur yang memiliki suhu relatif hangat.
Sayangnya waktu seolah berlalu begitu cepat. Besok adalah hari terakhirnya di Desa Linggarjati. Sebelum berangkat ke Bandara Husein Sastranegara, Halilintar dan beberapa mahasiswa asing lainnya berkesempatan hadir dalam acara International Angklung Festival yang digelar di halaman Gedung Perundingan Linggarjati, gedung yang memiliki nilai historis bagi rakyat Indonesia.
Memasuki area Gedung Perundingan Linggarjati, mereka disambut oleh suara alunan suling bambu yang mendayu-dayu, dipadukan dengan bunyi kendang dan angklung yang khas. Para muda-mudi Kabupaten Kuningan berjajar rapi menyambut para pengunjung. Para perempuan tampak ayu mengenakan kebaya, para lelaki mengenakan baju bedahan dan totopong, ikat kepala dari Jawa Barat.
"Guys, belajar Angklung hayu, ke stand yang di sana," seorang pemuda bertopi cokelat menceletuk begitu sampai di halaman gedung. Dia adalah Gempa, salah satu local volunteer.
Dari enam local volunteer yang membantu para mahasiswa asing selama di Indonesia, hanya Gempa yang jarang menggunakan Bahasa Inggris saat berkomunikasi dengan Halilintar. Gempa beralasan kalau Malaysia dan Indonesia ragam bahasanya tak jauh berbeda. Meski terkadang pemuda asal Bandung itu tanpa sengaja menyelipkan kata-kata dalam Bahasa Sunda, bahasa daerahnya, lengkap dengan logat yang nadanya naik-turun setiap berbicara.
Para volunteer mengajaknya ke sebuah stand yang berada di sebelah barat panggung. Melihat banyaknya pengunjung, Halilintar tak begitu yakin bisa belajar angklung dengan leluasa. Tapi para volunteer bersikeras ingin agar para mahasiswa asing bisa belajar angklung. Mereka bilang ini kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan.
"Kang, kumaha damang? (Bang, apa kabar?)" ucap Gempa pada seorang pria paruh baya begitu sampai di depan stand. Berhubung hanya Gempa yang berasal dari daerah Jawa Barat, maka dialah yang bertugas melobi.
"Alhamdulillah damang, jang. Dupi ujang kawitna timana? (Alhamdulillah baik, dik. Adik asalnya dari mana?)"
"Abdi mah ti Bandung, kang. Ti Majalaya. (Saya dari Bandung, bang. Dari Majalaya.)"
"Eleuh, ujang teh urang Majalaya. Abdi mah ti Ciparay, caket lah ti Ciparay ka Majalaya mah. (Wah, adik orang Majalaya. Saya dari Ciparay, deket lah dari Ciparay ke Majalaya tuh.)"
Gempa lanjut berbincang, mereka sesekali tertawa bersama. Sementara Halilintar dan yang lainnya hanya terbengong, tak paham sama sekali apa yang mereka ucapkan. Terlebih lagi tiba-tiba Gempa menunjuk mereka.
"Nepangkeun kang, ieu rerencangan abdi, aya nu ti Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, China sareng Kanada. Saurna teh hoyong diajar angklung, kang. (Perkenalkan bang, ini teman-teman saya, ada yang dari Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, China dan Kanada. Mereka bilang ingin belajar angklung, bang.)" ucap Gempa pada pria itu sambil menunjuk dia dan teman-temannya satu per satu.
"Apa kau cakap, Gem?" belum sempat Gempa menjawab, pria itu sudah kembali bersuara.
"Mangga atuh ari kitu mah. Ke sakedap urang candak heula angklungna. (Bolehlah kalau begitu. Sebentar saya ambil dulu angklungnya.)"
Pria itu menyerahkan angklung yang dipegangnya pada Halilintar. Lalu masuk ke dalam stand.
"Tadi saya bilang kalian teh mau belajar angklung," ucap Gempa padanya.
Pria itu kembali dengan beberapa angklung di tangannya, lalu membagikan angklung pada teman-temannya.
"Nah ini teh namanya angklung. Terbuat dari bambu hitam dan bambu ater. Angklung teh jenisnya ada banyak. Ada angklung kanekes, angklung buncis, angklung padaeng, angklung toel dan masih banyak lagi. Nah yang akang ,
teteh pegang teh jenisnya angklung padaeng. Di mana nadanya sudah sesuai dengan sistem musik barat."Salah satu volunteer mulai menerjemahkan ucapan pria itu dalam Bahasa Inggris agar yang lain bisa mengerti.
Kemudian pria itu mulai menjelaskan cara memainkan angklung. Ternyata memainkan angklung itu mudah. Cukup tangan kiri memegang rangka bagian atas, sehingga angklung bisa menggantung bebas, tangan kanan memegang bagian bawah lalu menggoyangkan angklungnya hingga mengeluarkan bunyi bergetar pada nada tertentu.
Saat dirasa sudah terbiasa, pria itu mulai meminta mereka memainkan sebuah lagu. Lagu yang mereka mainkan adalah lagu tradisional berjudul Manuk Dadali dengan pria itu yang bertugas memberi petunjuk nada.
Puas bermain angklung, mereka memutuskan untuk melihat pertunjukan angklung dari para pengisi acara dan melihat-lihat cinderamata dari pedagang lokal.
Halilintar membeli beberapa miniatur angklung dan pernak-pernik lain untuk diberikan pada adik-adiknya dan sisanya akan menjadi pajangan di rumah. Sebagai pengingat bahwa dia pernah belajar kebudayaan di Bumi Pasundan.
Fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Corak Khatulistiwa
FanfictionKumpulan cerita para Elemental berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia + Adu Du dan Ejo Jo. [No pairings. Kumpulan drabble budaya Indonesia.] Cover by Deka Anderskor All illustrations by SappireEyes