Sekapur Sirih

389 69 1
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
Kami tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.

Chapter V
"Sekapur Sirih"
oleh
himmedelweiss

- - -

"Bos, data menunjukkan adanya sumber kekuatan yang lebih besar daripada energi cokelat."

Adu Du segera menegakkan punggung yang bersandar. "Apa?! Bagaimana bisa?! Kekuatan apakah itu?!"

"Bentuknya masih belum dapat diketahui, tetapi koordinat lokasi telah berhasil ditemukan," lapor Komputer.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita meluncur ke sana sekarang!"

---

"Komputer, berada di mana kita sekarang?"

"Provinsi Jambi, Indonesia, Incik Bos," jawab Komputer. "Saat ini kita mendarat di lapangan Gedung Olahraga dan Seni Budaya di Kota Baru, ibukota."

"Sawat apo pula iko ni? Woi woi sini! Nak tengok sawat dak ko semua?! " (Pesawat apa pula ini nih? Semuanya, sini! Mau lihat pesawat tidak kalian semua?!)

"Ganggu bae, nian lah! Dorong oi dorong! Macam mano kito nak pentas kalo ado kek ginian di siko?! " (Mengacau saja, sungguh! Dorong oi dorong! Bagaimana kita mau tampil kalau ada yang seperti ini di sini?!)

"Kenapa banyak orang yang mengelilingi pesawat angkasa Incik Bos?" tanya Probe yang keheranan melihat puluhan orang yang berada di sekitar kapal pengangkut sampah mereka. "Mereka mau mengusir kita kah?"

"Ayo kita turun dan tanyakan pada mereka di manakah sumber energi itu." Adu Du menggenggam pistol di kedua tangan. "Kalau mereka tidak mau memberitahu, kita gunakan kekerasan."

"Sebaiknya tidak, Incik Bos. Ingat pada waktu kita menemukan energi cokelat? Mereka menggunakan itu sebagai makanan karena tidak tahu. Kemungkinan besar, mereka juga tidak tahu," terang Komputer.

"Jadi ... apa rencanamu, Komputer?"

Program membentuk ekspresi senyum. "Beramah-tamah, Incik Bos."

---

"Ha! Lah kelua!" (Ha! Sudah keluar!) seru salah satu orang dalam kerumunan massa. "Orang ijo la yang punyo!" (Orang hijau ternyata yang punya!)

"Iyo nian?! Kompeninyo Ejo Jo keknyo?" (Serius?! Teman Ejo Jo sepertinya?)

"Ejo Jo?" Adu Du membeo. Sejak kapan musuh bebuyutannya ada di sini? Mungkin dia sudah menemukan adanya energi baru itu? "H-Hai semua ... ya, saya... kawannya Ejo Jo. Dia ada di sini ... kah?"

Sebuah suara menyahut, "Oh, nak cari Ejo Jo? Ado ado! Panggilin dio tu, bilang kawannyo nyariin! " (Oh, mau cari Ejo Jo? Ada ada! Panggilkan dia, bilang ada teman yang mencari!)

"Oh, sayo kiro ado keributan apo di siko, Adu Du kawan baek sayo ternyato." (Oh, saya kira ada keributan apa di sini. Adu Du teman baik saya ternyata.)

Adu Du tercengang saat melihat penampilan Ejo Jo yang ... bernuansa kearifan lokal? Entahlah, Adu Du kehabisan kata-kata.

"Kalian lanjut be latihan, sayo nak bengota dulu samo kawan sayo ni, bentar bae. Boleh dak?" (Kalian lanjut saja latihan, saya mau berbincang dulu sama teman saya ini, sebentar saja. Boleh tidak?)

"Boleh boleh! Laju be! " (Boleh boleh! Silakan!)

"Macam mano kito nak latihan ni? " (Bagaimana kita mau latihan nih?)

"Ai, di dalam be dulu hari ni. Tamu tu bentar lagi balek la! " (Aih, di dalam saja dulu untuk hari ini. Tamu itu pasti sebentar lagi pulang!)

Kerumunan massa kembali memasuki Gedung Olahraga dan Seni Budaya. Ejo Jo mendelik, Adu Du tertawa renyah.

"Kau pasti mau mencari energi baru itu, bukan?" terka Ejo Jo tepat sasaran. "Pulang saja kau ke Pulau Rintis. Kujamin kau tidak akan bisa membawa pulang energi itu."

"Siapa kau berani larang-larang aku, hah?!" hardik Adu Du. "Jadi, kau sudah tahu apa kekuatan baru itu?"

"Oh, sudah pasti," Ejo Jo tersenyum bangga akan dirinya yang selalu selangkah di depan Adu Du. "Kalau kau penasaran, aku tunjukkan padamu."

Adu Du mengernyit. Sejak kapan Ejo Jo berbaik hati padanya? Apakah ada niat jahat terselubung? Adu Du menggeleng atas pikirannya sendiri. Mumpung ada tawaran baik, kenapa harus ditolak?

"Oke. Aku ikut."

---

Dari posisi duduknya, Adu Du menyaksikan semuanya.

Sembilan wanita duduk dengan posisi menekuk lutut membentuk sebuah formasi. Kedua tangan saling menempel di depan dada yang bergerak naik ke atas sampai sebatas wajah. Mereka menaikkan posisi tubuh hingga lutut menjadi penopang tubuh, dengan kedua tangan yang dinaikkan melewati kepala dan bergerak maju dengan gerakan lembut, sebelum pada akhirnya kembali ke posisi semula.

Para wanita itu membungkuk dan meletakkan tangan kiri di atas paha, sementara tangan kanan meliak-meliuk ke arah luar, lalu melayang di udara membentuk jentikan jari, kemudian mengarahkannya ke depan bahu kiri dengan masih mempertahankan gerakan-gerakan yang begitu apik dan menawan. Tangan kanan kemudian menapak paha kanan, lalu tangan kiri mengulangi gestur dengan arah yang berlawanan.

Adu Du nyaris tak berkedip. "Ini ..."

"Kami akan menampilkan Tari Sekapur Sirih untuk menyambut tamu penting sekaligus tampil di Festival Budaya," jelas Ejo Jo.

"Kami?" Adu Du menekan satu kata itu. "Kau juga?"

"Ya. Mungkin kau tidak percaya, tapi aku sudah jatuh cinta pada hal seperti ini, heh." Tersenyum miring, Ejo Jo melanjutkan, "Inilah energi yang lebih hebat daripada energi cokelat itu, tapi kalau kau ingin merebutnya ... maka tak akan kubiarkan kau melakukannya."

Adu Du mendecih. "Sejak kapan kau jadi baik, hah?"

Ejo Jo menjelaskan tanpa menjawab pertanyaan Adu Du, "Sudah jarang sekali ada manusia yang tertarik pada kebudayaan daerah, termasuk penduduknya sekalipun. Kalau kau mencoba mengambil esensi, hal yang sama seperti hilangnya cokelat dari Ata Ta Tiga akan terjadi. Saking langkanya, kau hanya bisa menemui tarian ini pada saat penyambutan tamu, itu pun yang benar-benar penting saja. Memang lebih kuat, tapi tidak efektif."

Mendengarnya, Adu Du menjadi berminat, "Kenapa harus ada sembilan penari?"

"Inilah motto Provinsi Jambi, Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Disebut begitu karena Jambi memiliki sembilan aliran sungai," Ejo Jo kembali menatap para penari. "Oh, waktu berjalan cepat. Ternyata sudah masuk ke bagian inti."

"Sinti? Siapa pula maksudmu?"

"Pekak dipelihara," dengkus Ejo Jo. "Bagian inti. Yang kau lihat tadi adalah bagian awal, maknanya adalah perwujudan wanita yang sedang berdandan. Bagian inti dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahlembutan dan sikap sopan santun pada saat menerima tamu. Nanti ada bagian penutup, yaitu pemberian sekapur dan sirih, seperti nama tariannya. Tujuannya adalah memberikan gambaran kesenangan masyarakat ketika tamu datang berkunjung."

Adu Du mengangguk paham.

"Jadi, kau masih berminat?"

Mendengar pertanyaan Ejo Jo, Adu Du hanya berujar, "Kau menang. Aku pulang."

Fin.

Corak KhatulistiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang