14. We Lost Him

126 26 16
                                    

"Gyosu-nim! Gyosu-nim!"

Aku mengguncangkan tubuh Professor Oh, karena darah yang keluar dari pergelangan kakinya kini kian membanyak.

"Noona, apa yang terjadi?"

"Ae-cha, kenapa?"

Aku tak menghiraukan suara-suara itu, aku tetap mengguncangkan tubuh Professor Oh, kenapa pria ini tak kunjung bangun, Ya Tuhan?!

"Ae-cha! Lo kenap--"

"Apa lo nggak liat darah itu, ha?!"

Mark terdiam, kemudian laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke kaki milik Professor Oh.

"Noona, sepertinya ini bukan darah biasa."

Haechan mencolek darah yang keluar dari kaki Professor Oh, membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya.

Professor Oh terduduk, ia menggaruk tengkuk dengan matanya yang masih tertutup.

"Gyosu-nim?"

Aku mengerutkan kening, mengamati gerak-gerik Professor Oh yang tampak tidak seperti biasanya.

"Professor, apa yang menyebabkan kakimu mengeluarkan banyak darah seperti itu?"

Professor Oh membuka matanya.

Aku, Haechan, dan Mark seketika membelalakkan mata karena melihat kedua bola matanya yang---

Memutih.

Iya, seluruhnya putih. Bahkan, tidak ada warna hitamnya sama sekali.

"Hei, Professor. Apa yang terjadi dengan matamu?"

Professor Oh menyeringai, membuat kami bertiga mundur ketakutan. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan pria ini?

"Haechan, menjauhlah dari sana!"

Mark menarik tangan Haechan agar anak itu menjauh dari Professor Oh.

"Berikan aku jiwa-mu, Ae-cha."

Aku tersentak seketika, dapat kurasakan detak jantungku berpacu berkali-kali lipat lebih cepat.

Arwah sialan Gauri itu ternyata masih mengikuti, dan menginginkan jiwa-ku. Sampai-sampai ia mengambil tubuh milik Professor Oh untuk mendapatkannya.

"Cha, pegang tangan gue. Haechan, you too, hold my hand. Jangan sampai lepas. Di hitungan ke-tiga, kita lari."

Aku mengangguk, kemudian kueratkan jari-jemariku ke dalam genggaman Mark.

"Satu."

Aku menutup mata, dan memundurkan langkahku.

"Dua."

Mark menatapku dan Haechan secara bergantian, dan---

"Run!"

Professor Oh mengejar kami dengan kaki jenjangnya.

Aku tidak tahu, apakah jiwa itu masih milik Professor Oh, atau Gauri telah mengambil tubuh itu sepenuhnya.

Baiklah, itu tidaklah penting sekarang.

Kami berlari secepat mungkin, sambari sesekali melihat ke belakang memastikan apakah Professor Oh masih mengejar kami, atau tidak.

Ku rasakan Mark semakin menggenggam erat jemariku. Entahlah, apakah laki-laki itu juga melakukan hal serupa kepada Haechan.

Bruk!

"Aaaa noona, hyung. Tolong aku."

Sialan, kenapa anak itu harus tersandung akar pohon yang menyebabkannya jatuh terjerembab seperti itu.

"Haechan, apa kau baik-baik saja? Berdiri, Chan. Cepatlah!"

Aku menyangga tangan Haechan, membantunya untuk berdiri. Tetapi, anak itu terus merintih kesakitan.

"Sakit, noona. Aku---"

"AE-CHA!!"

Kami sontak mengalihkan pandangan, detak jantungku semakin tak karuan ketika melihat Professor Oh yang mulai mengikis jarak di antara kami.

"Haechan, dengarkan aku. Waktu kita tak banyak, Chan. Kita harus sampai di kastil itu sebelum malam bulan purnama."

"Hyung, aku tidak---"

Bruk!

Apa yang terjadi barusan itu sontak membuatku berhenti bernapas untuk sepersekian detik.

Ku rasakan tangan Mark yang berada dalam genggamanku pun kini mulai mengeluarkan keringat.

Tepat di depan mataku, Professor Oh berhasil menggapai bahu Haechan, dan melingkarkan tangannya di leher anak itu.

"Apa kau ingin melihat anak ini menghilang dari dunia ini untuk selamanya, hm? Kemari Ae-cha, selamatkan anak ini."

"Andwae! Noona, pergilah! Berjanjilah kepadaku kau harus kembali!"

"I won't go without you, Chan!"

"Tidak! Kau harus pergi tanpaku! Mark hyung, tolong bantu noona untuk pulang. Aku percaya kepadamu, hy---"

Professor Oh semakin mengeratkan tangannya pada leher anak itu. Haechan terbatuk, ke-dua tangannya tampak berusaha untuk melepaskan tangan Professor Oh yang melingkar di lehernya.

"Cha, we don't have choice anymore, we have to go now!"

"No, Mark. I can't let this happen to him."

"Noona, ku mohon pergilah! Hyung, jaga noona, ya. Kau harus mel--- aaaarghhhh"

Aku melotot tak percaya dengan apa yang dilakukan arwah bedebah itu kepada Haechan, ia menggigit leher anak itu sehingga darah bercucuran dimana-mana.

"NOONA, HYUNG, AKU BILANG PERGI!!"

Setelahnya, Mark menarik tanganku menjauh. Aku menunduk, menangis karena Haechan mengorbankan dirinya untuk diriku.

Sungguh, aku merasa jika diriku ini memang hanya sebatas beban untuk mereka.

✿ ✿ ✿

Aku duduk bersama Mark di bawah pohon di tepi telaga.

Ya, sebuah telaga yang sangat indah di dalam hutan yang sangat terkutuk.

"Mark,"

Aku memanggil Mark tanpa mengalihkan pendanganku dari telaga itu.

"Gue minta maaf."

Aku menunduk, kemudian air mata sialan itu jatuh.

Mark mengubah posisi duduknya menjadi menghadapku.

"Cha, lihat gue."

Mark mengangkat wajahku yang penuh dengan air mata itu, kemudian ia menghapusnya. Tatapannya seperti biasa, halus, dan tenang.

"Jangan terlalu nyalahin diri lo sendiri, Cha."

"Gimana gue nggak nyalahin diri gue sendiri, Mark? Lagi-lagi kalian terluka karena gue. Dan Haechan, dia bahkan mengorbankan dirinya buat gue. Gue memang cuma sebatas beban buat kalian."

Aku menunduk, entah sudah tetes keberapa air mata itu kini turun, lagi.

"Lo masih punya gue di sini, Cha. Gue bakal anter lo pulang. Lo mau kan, berjuang bareng gue?"

-tbc-

When I Was Lost | END ✔Where stories live. Discover now