Try 5

6 0 0
                                    

Adalah sebuah mimpi buruk yang tidak mau Hobi impikan lagi, namun sebagian besar dari dirinya merasa penasaran oleh mimpi itu.

Bak seorang anak kecil yang punya rasa keingintahuan yang tinggi, Hobi pun merasakan hal yang sama. Pria itu seperti terjebak di dalam ruangan dengan banyak pintu, kelelahan, hampir tidak punya tenaga untuk berjalan, namun ia tetap menyeret kakinya untuk membuka satu-persatu pintu tersebut untuk menemukan sebuah kejutan.

Pikirannya menyadari satu hal; mungkin ini sebabnya wanita itu datang kemari. Rupanya, dia masih punya rasa penasaran tinggi.

Hobi tentu saja tidak serta-merta mendepak wanita itu ketika mereka bertemu untuk yang pertama kali setelah dua tahun lamanya. Meski masih meninggalkan rasa shock, Hobi justru mendekat dan menuntun wanita itu untuk datang ke tempatnya. Ke rumah lebih tepatnya.

Dan di sinilah mereka saat ini, rumah kediaman keluarga Park.

Perlu kalian tahu, bahwa Hobi tidak mempunyai ikatan darah di dalam keluarga ini. Pria itu diadopsi sejak usia lima tahun, dan memutuskan untuk tetap menggunakan marga keluarga kandungnya.

Kesan pertama kali saat Felicia melihat rumah itu dari halaman rumah adalah hangat dan nyaman. Benar-benar menggambarkan definisi sebuah rumah itu sendiri.

Wanita itu terdiam ketika kedua kakinya berada di depan pintu. Hobi yang menyadari hal itu mengurungkan niat untuk membuka pintu dan menatap Felicia.

"Sudah makan?" tanyanya, sekadar mencairkan suasana.

Felicia hanya membalas dengan anggukan. Jemarinya memelintir tali tas dengan gugup, dan itu ditangkap dengan jelas oleh Hobi.

"Fel?"

Felicia mendongak. "Iya, Kak?"

Hobi menghela napas, kedua tangannya meraih pundak Felicia agar wanita itu fokus menatapnya.

"Setelah aku buka pintu ini, kamu akan menemukan kebenarannya. Suka gak suka, harus kamu terima. Pahit atau manis, rasakan tanpa penolakan. Oke?"

Felicia menggigit bibir bawahnya samar-samar, ingin menangis, namun detik ini bukanlah saatnya. Ia harus menunggu sampai pintu sialan itu terbuka. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, kemudian baru boleh mengeluarkan reaksi.

Kepala Felicia mengangguk dan menggumamkan kata, "Oke."

Hobi memamerkan senyumnya, namun kali ini Felicia tidak merasakan adanya keceriaan yang mengalir dari sana.

"Aku seneng lihat kamu dalam keadaan sehat gini," ujar pria itu. "Seenggaknya aku tahu, selama ini kamu menjalani hidup kamu dengan baik."

Felicia membalas dengan satu senyuman. Membenarkan ucapan Hobi bahwa ia memang menjalani hidupnya dengan baik selama ini. Atau memaksa untuk baik.

Kedua tangan Hobi lalu melepas pundak Felicia untuk kemudian meraih kenop pintu.

Jantung Felicia terasa ingin melompat dari rongganya karena terlalu keras berdetak, mengakibatkan sesak menghimpit dadanya. Telapak tangan serta pelipisnya sudah banjir keringat. Bibirnya memucat, dan tenggorokannya terasa kering.

Inilah saatnya.

Inilah waktunya untuk menemukan kebenaran tersebut.

Kebenaran yang sudah terlalu lama ia pendam tanpa mau ia angkat ke permukaan. Inilah saatnya untuk mencari tahu.

Dengan satu tarikan yang entah mengapa terasa begitu sangat lama, Hobi membuka pintu tersebut lebar-lebar.

Kedua netranya yang menatap lantai, dipaksa untuk melihat lurus ke depan. Fokus belum sepenuhnya mengambil alih, dan sialnya waktu seperti berjalan dengan sangat lambat.

Lalu saat Felicia mulai dapat menajamkan indra penglihatannya, jantungnya berhenti ketika melihat sosok itu.

Sosok yang kini tengah menatapnya dan menampilkan senyuman manis yang sangat ia rindukan setiap harinya.

last try [book 2]• pjm ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang