Hal yang pertama kali Felicia rasakan ketika membuka kedua matanya adalah pening yang dengan hebat menghantam kepalanya. Ia bahkan harus meringis ketika mencoba untuk bangun. Netranya berkelana, menemukan suasana asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia lalu menyadari bahwa dirinya berada di sebuah kamar. Kamar entah milik siapa, yang jelas ini bukan kamar yang ia tiduri setiap harinya.
Felicia mengerjap, matanya terasa berat dan baru ia ingat bahwa sebelum hilang kesadaran, dirinya menangis dengan keras.
Wanita itu lalu mendengar samar-samar suara dari ruangan lain. Ia lantas turun dari ranjang tersebut, menapaki lantai kayu dengan kaki telanjang. Tangannya meraih kenop pintu dan membukanya perlahan.
Ia mencari wajah yang familiar diantara beberapa orang yang tengah duduk melantai di ruangan itu. Dan setelah ia menemukan sosok Hobi, yang dengan kebetulan pria itu juga menjatuhkan pandangan ke arahnya, Felicia berdiri kaku di ambang pintu.
Hobi lalu beringsut berdiri, semua pasang mata di ruangan itu mengikuti kemana langkahnya menuju dan berhenti tepat di depan Felicia.
"Udah baikan?"
Pertanyaan itu.
Baikkah?
Namun Felicia hanya mengangguk tanpa mampu mengutarakan apapun. Toh, jika ia menyampaikan bagaimana perasaannya saat ini, orang-orang hanya mengerti, tidak benar-benar merasakan apa yang tengah dirasakannya.
"Felicia?"
Felicia dan Hobi menoleh, kepada wanita paruh baya yang wajahnya mengingatkan dirinya terhadap seseorang.
Felicia lalu mendekat dan membungkuk untuk menyampaikan salam yang diterima sangat baik oleh wanita di hadapannya.
Nyonya Park meraih kedua tangan Felicia dan digenggamnya erat, seolah menyalurkan rasa bersalah yang sejak dulu ia simpan.
"Felicia, kamu kesini sendiri?"
Felicia mengangguk, "Iya, Tante."
"Syukurlah kamu bisa ketemu sama Hobi secara gak sengaja. Kamu jadi gak perlu repot-repot cari alamat rumah ini," ujarnya dengan suara lembut.
"Iya, Tante. Maaf aku gak bisa bantu-bantu, aku malah nangis dan-"
"Hei," Nyonya Park menggeleng. "Tante malah berterima kasih kamu udah mau datang. Dan.. harusnya Tante yang minta maaf. Untuk selama ini. Untuk Hobi dan juga.. Jimin."
Nyonya Park menangis di hadapan Felicia, wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya, tak kuasa menahan kesedihan di hatinya. Sementara Felicia hanya mampu membawa Nyonya Park ke dalam pelukannya.
"Kamu pasti selama ini hidup dalam sebuah pertanyaan besar, kan? Ada apa yang terjadi sebenarnya, kenapa harus seperti ini, kenapa kami memilih jalan ini yang malah membuat kamu merasa dipermainkan. Jimin.. udah lama sakit, Fel, tapi dia gak mau ngerepotin kamu bahkan setelah Tante bujuk dia. Tapi dia tetap bersikukuh, merasa bahwa satu-satunya jalan yang terbaik adalah bersembunyi dan meninggalkan kamu. Di sisa akhir hidupnya, Jimin gak pernah sekalipun lepas menyebut nama kamu, di tengah rasa sakitnya Jimin selalu merindukan kamu setiap hari, berharap dia bisa melihat kamu untuk yang terakhir kali, tapi dia gak bisa. Karena itu akan semakin membuat dia jadi lebih berat buat meninggalkan dunia ini...,"
Suara Nyonya Park yang terus membicarakan Jimin sambil menangis di pelukannya semakin lama semakin terdengar samar. Pendengarannya sudah tidak lagi terfokus pada suara wanita itu, kedua matanya buram akibat air mata yang sekali lagi mengalir deras.
Felicia mengalihkan pandangan matanya pada sebuah pigura yang dikelilingi berbagai macam bunga serta makanan, juga dupa yang masih menyala.
Hari ini, tepat dua tahun peringatan kematian Jimin dan Felicia telah bertemu dengan kehancuran yang sebenarnya.
Kehancuran yang meluluh-lantahkan jiwa dan raganya, mengambil seluruh akal sehatnya, meninggalkan dirinya dengan keadaan yang begitu nelangsa.
-
To our beloved,
Park Jimin
2 Years Death Anniversary
KAMU SEDANG MEMBACA
last try [book 2]• pjm ✓
Fanfiction✨ [ft. Park 지민] ❝So.. this is my last try to get you back.❞