Try 2

6 0 0
                                    

Mama sedang melipat baju di kamarnya ketika Felicia masuk. Gadis itu menghampiri wanita paruh baya itu dan duduk di sampingnya.

"Kamu kok pulang ke sini?" tanyanya begitu melihat anak gadisnya.

Felicia mengedikkan bahu. "Pingin mampir aja. Aku tidur di sini ya, Ma?"

"Apartemen baik, kan?"

Felicia mengangguk. "Baik, kok. Cuma.. lagi kangen Mama," cengirnya lebar.

Bibir Mama mencebik. "Sekarang udah jauh dari Mama aja begitu. Dulu di rumah kamu bawaannya sumpek mulu. Kayak yang mau minggat."

"Emang aku gitu ya, Ma?" Felicia masih menyengir mendengar keluhan Mama.

"Iya, banget."

Keduanya lantas diam, Felicia ikut meraih baju-baju yang masih berserakan, melipat dengan rapih dan menyusunnya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Mama.

Wanita yang begitu ia sayangi sampai mati, wanita yang ingin ia lindungi sampai kapanpun. Wanita yang menjadi panutannya. Satu-satunya orang yang menjadi alasannya untuk tetap bertahan melalui hari-hari.

Felicia kemudian mencoba untuk membuka obrolan, alasan mengapa gadis itu pulang ke rumah.

"Ma?"

"Hm?"

Felicia sudah membuka mulutnya, namun kalimat yang berada di kepalanya tiba-tiba menguap entah kemana, meninggalkan dirinya yang terbengong seketika.

"Fel," Mama menaruh baju yang belum selesai dilipatnya, wanita itu duduk agak menghadap ke arah Felicia. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu, kan?"

Saat itu juga air mata tergenang di pelupuk gadis itu.

Sebelah tangan Mama membelai kepala Felicia, tersenyum lembut penuh kasih kasang. "Mama.. selalu ngerasa ada yang mengganjal tiap kali kamu ada masalah. Dan setelah Mama tanya ke kamu, sembilan puluh persen memang lagi ada hal yang mengusik hati dan pikiran kamu. Kenapa? Mau cerita?"

Felicia mengulum bibirnya, gadis itu kurang yakin dengan apa yang ingin disampaikannya. Namun setelah melihat kedua mata Mamanya yang mengisyaratkan untuk percaya kepada Mama, gadis itu menghembuskan napas.

"Setelah Papa meninggal, gimana dunia Mama berjalan?"

Wanita itu langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini akan tertuju. Namun ia lebih memilih untuk menuruti kemana Felicia akan membawanya dibanding harus menyeret gadis itu ke pokok permasalahan.

Kedua mata Mama melihat ke arah jendela. Langit sore yang membiaskan warna jingga nampak indah dipandang.

"Dunia Mama.. berantakan." Mama menghela napas, menerawang sesuatu. "Dunia Mama gak lagi sama. Yang Mama rasakan saat itu adalah kenapa takdir harus begitu jahat ke Mama? Bahkan Mama beberapa kali berpikir untuk.. menyudahi semua ini,"

Wanita itu kembali menatap Felicia. Pandangannya sendu, dan terselip rasa sakit di sana. "Dengan menyusul Papa kamu dan meninggalkan kalian.

"Tapi Mama.. saat itu tersadar. Bahwa sumber kebahagiaan Mama ada pada dalam diri kalian juga.

"Mama menyadari bahwa masih terdapat kekuatan untuk Mama menjalani hidup. Masih ada banyak alasan untuk Mama bahagia. Dan sekarang Mama gak pernah menyesali keputusan Mama buat bertahan."

Felicia meneteskan air matanya setelah Mama menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu meraih kedua tangan Mama dan meremasnya pelan.

"Ma, aku masih belum bisa."

"Fel, kadang kita harus melewati sesuatu yang mengerikan sebelum menginjak kebahagiaan yang lain."

Felicia menggeleng. "Tapi aku takut. Aku takut setelah.., benar-benar mengetahui semuanya aku gak bisa menemukan alasan untuk bertahan.

"Dia udah menjadi bagian dari diri aku, dan dia selalu hidup di sini, Ma." Felicia menyentuh dadanya.

"Bahkan setelah dua tahun ini?"

Felicia mengangguk. "Bahkan setelah dua tahun ini."

Mama segera membawa Felicia ke dalam dekapannya, menyalurkan ketenangan. Dan Felicia tidak bisa melakukan apapun selain menangis sampai dadanya terasa sesak.

Wanita itu menepuk-nepuk punggung anak gadisnya, seolah dengan mulutnya menyampaikan sesuatu bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa tidak apa jika ingin menangis, karena ada dirinya yang akan berusaha menenangkan. Dan Felicia merasakan itu.

Menjelang petang pada hari itu, kedua wanita yang sama-sama merasakan sebuah kehilangan berbagi rasa sakit bersama.

-

"Kamu ada rencana?"

Felicia menjilat bibirnya yang kering. Kedua matanya bengkak akibat terlalu lama menangis.

"Aku.. pingin ketemu sama Kak Hobi."

"Kakaknya Jimin?" tanya Mama yang dibalas anggukan oleh Felicia.

"Tapi aku harus menemukan dimana dia saat ini. Aku sama sekali gak tahu keluarganya sekarang tinggal dimana."

"Mama bantu cari? Temen Mama ada polisi, mungkin dia bisa bantu melacak keberadaan mereka."

Felicia meraih kedua tangan Mama dan tersenyum. "Makasih, Ma. Tapi Felly rasa, Felly harus melakukan semua ini sendirian. Felly harus memulai dan mengakhirinya sendiri."

Mama mengangguk mengerti atas keputusan anak perempuannya. "Kamu harus baik-baik aja."

"Bohong kalau Felly baik-baik aja. Tapi Felly akan berusaha untuk itu."

Mama sekali lagi memeluk Felicia. Karena bagaimanapun, ia tidak mau jika anak-anaknya merasa hancur. Yang ia inginkan hanyalah anak-anaknya mendapatkan kebahagiaan yang melimpah, serta kasih sayang yang tumpah ruah.

"Mama sayang banget sama kamu."

"Felly juga sayang Mama."

last try [book 2]• pjm ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang