Penghormatan pertama kali untuk mendiang sang kekasih nyatanya terasa hampa bagi wanita itu. Ia tidak lagi bisa menangis kala menyalakan dupa, dan duduk bersila di hadapan pigura berisi foto Park Jimin. Felicia bahkan tidak tahu harus mendoakan arwah si pria dengan bentuk apa.
Ia menyadari bahwa ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, namun ia tidak akan mendapat jawaban langsung dari mulut si pria, maka dari itu ia memilih untuk menelannya bulat-bulat. Yang saat ini ia tahu adalah Park Jimin tidak akan pernah hadir lagi di dalam hidupnya di dunia ini.
Lalu saat bulan mulai merangkak naik, ia hanya berdiam diri di kamar Hobi. Tak tahu harus apa, tak tahu mau bagaimana. Kekosongan yang mengisi hatinya kini telah menjelma menjadi teman sejatinya.
Wanita itu menjilat bibirnya yang kering. Ia berdiri lalu keluar dari kamar, beruntung tidak menemukan satupun penghuni rumah. Mungkin mereka sudah terlelap, mengingat jam menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Jadi, ternyata hanya dirinyalah yang masih terjaga.
Felicia berdiri di tengah ruangan tempat perayaan kematian Jimin. Ia berdiri seraya memandangi foto si pria. Semua dupa sudah mati tak tersisa, meninggalkan keheningan malam dan suara jarum jam yang terdengar mengerikan.
Ia lantas meraih dua botol soju yang berada di meja. Kalau saja pria itu masih ada, ia pasti sudah melarangnya untuk minum. Tapi persetan. Pria itu sudah tidak ada. Ia bebas menikmati soju sebanyak yang ia mau. Kalau bisa sampai minuman keras itu membuatnya bisa melupakan si pria.
Felicia kembali ke kamar Hobi dan mulai menenggak minuman itu. Ia bahkan tidak perlu repot-repot menggunakan gelas.
Setengah jam berlalu saat Felicia sudah hampir kehilangan kewarasan, wanita itu meraih ponsel dan melakukan sebuah panggilan.
"Ma...,"
"...Felly? Kamu baik-baik aja?"
Felicia menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya pada permukaan ranjang, mendongak ke atas dan menatap langit-langit kamar yang terlihat menyedihkan.
"Felly harus gimana, Ma?"
"...Felly, sayang."
Air mata kembali lolos, bibirnya mulai bergetar. "Sekarang aku harus gimana? Aku bingung, aku takut. Aku takut, Ma, aku takut gak bisa menemukan alasan untuk bertahan.
"Setiap aku lihat foto dia yang terpajang di ruangan itu, foto dia yang nunjukin senyum bodonya...,
"Katakan, Ma..., katakan harus dengan cara apa lagi biar aku bisa bertahan?"
Malam itu, di seberang sana Mama dengan setia menemani racauan anak perempuannya. Seolah sedang kembali bercermin, seperti inilah dulu keadaannya ketika satu-satunya belahan jiwanya meninggalkannya dari dunia. Dan rasa sakit itu bertambah dua kali lipat ketika Felicia merasakan hal yang sama seperti dirinya.
Di sisi lain, tepatnya di luar kamar tempat Felicia menumpahkan segala emosi, seorang pria berdiri termenung setelah mendengar sebuah percakapan menyayat hati.
Pria itu bahkan tidak bisa membendung air mata ketika suara Felicia terdengar begitu sengsara akibat ditinggalkan seorang kekasih.
Hobi tahu, dirinya paham betul bagaimana kedua insan itu saling mencintai. Bagaimana dirinya seringkali memergoki Jimin yang diam-diam tersenyum setelah menelepon wanita itu, bagaimana Jimin berani mengorbankan segalanya untuk wanita itu.
Dan bagaimana sejak kepergian adik laki-lakinya dua tahun silam, masih membuat Felicia sehancur ini.
Ia sungguh memahami bagaimana dua anak manusia itu menjalin cinta.
Dan menjadi satu-satunya orang yang senantiasa menjadi pendengar yang baik di dalam jalinan cinta kedua orang itu, membuatnya juga merasakan sakit yang sama.
Hobi menyayangi keduanya. Ia selalu berharap hal-hal baik mengikuti langkah yang keduanya tempuh.
Bahkan setelah takdir mengerikan ini, ia akan selalu dan selalu mendoakan kebahagian Jimin dan juga Felicia.
![](https://img.wattpad.com/cover/228254483-288-k434987.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
last try [book 2]• pjm ✓
Fanfiction✨ [ft. Park 지민] ❝So.. this is my last try to get you back.❞