6. Kali Code

344 52 40
                                    

Mawar Danastri tidak pernah menyangka bahwa Noel Veltman, lelaki tunggal keluarga itu telah menjailinya. Sepanjang sisa hari itu Mawar dipergunjingkan oleh abdi lain karena merasa kedekatan Mawar yang tidak terlalu biasa dengan anak keluarga Veltman.

"Anak baru itu sedang apa dekat-dekat dengan Meneer?"

"Anak itu calon gundik Veltman juga."

"Baru datang ... sudah main api"

Ujaran tak sedap itu menyusup di liang telinga Mawar. Gadis itu berusaha menebalkan telinganya, tak mempedulikan perkataan para abdi lain yang menatapnya dengan iri. Sambil menyetrika dengan setrika arang yang berat, Mawar mendengarkan celotehan Tinah tentang bagaimana para abdi yang lain beranggapan tentangnya.

"Dengar, Mbakyu! Baru sehari Mbakyu datang sudah membuat gempar loji ini. Para abdi kasak kusuk membicarakan Mbakyu Mawar yang dekat dengan Meneer Noel," ujar Tinah yang duduk sambil mengipasi  badannya yang bersimbah keringat. Gadis muda itu bahkan membuka kancing kebayanya memperlihatkan kain stagen yang menjadi kemben penutup dada.

Mawar mengusap peluhnya yang bercucuran. Ruangan itu terasa pengap, terlebih dengan beban setrika besi yang terdapat bara di dalamnya, cukup menguras keringat Mawar. Mawar meletakkan setrika di atas sebuah lempengan batu datar. Ia mengusap keringat yang bercucuran di dahi, sebelum berbalik menjawab Tinah.

"Dik, aku juga tidak minta sampai harus mendapat hukuman seperti itu," sanggah Mawar. Gadis anak telik sandi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat kelakuan Tinah duduk dengan melipat kaki kanannya ke atas. Belum lagi kebaya yang tak dikancing. "Dudukmu itu, Tinah! Terlalu sembrono. Bagaimana kalau ada lelaki yang lewat?"

Tinah hanya meringis saat mendengar sergahan Mawar. Membetulkan duduk dengan bersila dan menutup kebayanya, dia menatap Mawar. "Mbak, kita ini sama-sama wong ndeso (orang desa). Kenapa aku merasa Mbak lain?"

"Lain piye (bagaimana) maksudmu?" Mawar melanjutkan pekerjaannya. Ia melipat kemeja yang ia tahu adalah milik tuan muda keluarga itu, dan menimpanya dengan besi alas setrika yang panas untuk menghaluskan kain yang kusut.

"Mbak Mawar seperti bukan orang desa seperti kami. Dari cara berjalan, cara bertutur dan lainnya," ucap Tinah.

"Perempuan katanya Mbah Putriku harus bisa bersikap. Dari manapun kita berasal, bukan?" jawab Mawar.

Tinah mengerucutkan bibir dengan kerutan di wajahnya. Gadis itu menggelengkan kepala perlahan seolah tak menyetujui pandangan Mawar. "Tetap saja, Mbak Mawar bukan seperti orang desa dari Ngawen yang terbelakang."

Mawar terkekeh miris, tak menjawab lagi ucapan Tinah. Walau ia orang desa, tapi Hayati selalu mendidiknya menjadi seorang perempuan jawa yang mriyayeni [1], berharap agar sang putri bisa mengikuti jejaknya menjadi seorang abdi dalem. Mawar tidak ingin penyamarannya terkuak bahwa ia anak abdi dalem bernama Hayati, yang merupakan istri dari Narto yang menjadi penghadang keluarga Veltman memasuki Djogjakarta.

Sambil tetap menggerakkan tangannya yang menggenggam setrika arang, otak Mawar lagi-lagi berputar mencari cara untuk melancarkan aksi balas dendamnya. Setidaknya, Mawar bersyukur atas kecerobohannya sehingga bisa membuat Mawar satu langkah lebih dekat dengan mangsanya.

***

3 Juni 1830

Hari baru sudah menjelang walau matahari belum bersinar. Setelah usai salat subuh, Mawar harus segera menyelesaikan tugasnya, walaupun abdi yang lain masih bermalas-malasan. Kepulan asap di pawon yang berada di sudut wisma sudah membumbung di langit yang kelam. Keriuhan abdi yang mendapat tugas untuk memasak sudah terdengar di pagi buta.

MAWAR BULAN JUNI (NUBAR2P-Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang