3. Loji Kebon

359 55 62
                                    

Sepulang dari sawah, Mawar tidak bisa berhenti memikirkan kabar yang didengarnya dari Tirta Aji. Ia sangat ingin menyampaikan keinginannya untuk menjadi abdi di Loji kediaman Residen Djogjakarta yang saat itu dijabat oleh Mayor Victor Veltman.

Berulang kali Mawar keluar masuk dapur menuju ke serambi rumahnya. Karti, nenek Mawar dari ayahnya, merasa risih dengan tingkah cucunya.

"Ngger, sini duduk di amben. Bantu Simbah marut kelapa!" perintah sang nenek yang sudah menyiapkan parutan dan sebutir kelapa tua untuk membuat santan.

Mawar hanya bisa menghela napas. Ia hanya melihat wanita tua berkebaya dengan rumput yang sudah memutih digelung di tengkuknya. Mau tak mau Mawar menghampiri balai-balai bambu kecil untuk melaksanakan titah Karti.

Dinaikkannya kakinya di atas balai-balai walau saat itu Mawar memakai jarik yang membalut bagian bawah tubuhnya. Karti yang melihat posisi duduk cucunya hanya menggelengkan kepala. "Mawar ... dudukmu itu seperti anak laki-laki! Ora (Tidak) sopan!"

Suara gesekan kelapa pada papan bergerigi nyaring yang terdengar di seluruh penjuru pawon sederhana meredam dengkusan Mawar. "Mbah ... jaman sekarang, susah jadi anak perempuan. Begini salah, begitu salah. Yang ini salah, yang itu salah. Harus menurut."

Parti terkekeh. Tarikan bibirnya membuat guratan keriput di wajahnya semakin jelas terlihat. "Berbahagialah jadi orang perempuan, Nduk!"

Mawar mendengkus semakin keras dengan manik mata yang masih tertuju pada pergerakan tangannya yang naik turun menggenggam kelapa karena khawatir tangannya yang menjadi korban duri kayu bergerigi besi itu. "Mbah ... kalau aku bekerja jadi abdi ...."

"Wah, kamu mau ikut jejak kami jadi abdi dalem?" Karti menyimpulkan sendiri.

Mawar hanya membuang napasnya kesal. Lagi-lagi kebiasaan sang nenek memotong ucapan yang sedang bicara muncul. "Bukan abdi dalem, Mbah, tapi abdi di kediaman Residen."

Karti yang sedari tadi meniupkan udara melalui bumbung bambu untuk memelihara api agar tetap menyala menghentikan tiupannya. Bunyi api yang memercik memakan batang kayu menemani keheranan Karti atas keinginan cucunya. Ia menoleh memandang cucunya yang masih sibuk memarut kelapa yang ditampung di atas wadah tembaga.

"Siapa yang mau jadi abdi Residen?" Hayati yang baru saja pulang menyeruak masuk ke dapur saat sempat mendengar keinginan putrinya.

"Simbok sudah pulang?" Mawar menengadahkan kepala sejenak. Ia disuguhi wajah bertengkuk yang masih bermandi peluh karena perjalanannya dari pasar Godean menuju ke Kraton Dalem.

"Apa maksudmu, Nduk?" tanya Hayati.

Karti yang duduk di dingklik kecil mendongak melihat ekspresi menantunya. Wajah Hayati yang terlihat lelah itu, semakin suram dengan kelopak mata yang melebar dan kedua alis yang bertaut.

"Apa maksudmu, Mawar?" Hayati mengulangi pertanyaannya.

"Kulo (Saya) ingin menjadi abdi di loji kediaman Residen Veltman, Mbok," jawab Mawar.

Hayati menghirup napas dalam-dalam berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak-banyaknya. Kekhawatiran yang berbungkus amarah itu meletup di batinnya. "Simbok tidak akan ijinkan!"

"Mbok, Mawar mau membalas_"

"Istighfar, Mawar! Tidak ada gunanya kita membalas kejahatan dengan kejahatan. Kebencianmu hanya akan membuatmu kecewa saat kamu tidak memperoleh apa yang kamu inginkan. Kebencianmu akan menggerogoti hatimu dan membuntukan nalar!" nasihat Hayati.

"Tapi, Mbok. Mawar melihat sendiri apa yang terjadi pada Bapak! Sebelum Mawar membuat keluarga Veltman itu menderita, tidur malamku tidak akan nyenyak." Mawar menggenggam erat ujung kayu parutan dan menatap ibunya yang berdiri di ambang pintu pawon dengan tatapan yang nyalang.

MAWAR BULAN JUNI (NUBAR2P-Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang