2. Dendam Mawar

392 62 78
                                    

Tirta Aji berlari menembus kelamnya malam dan rimbunnya semak belukar. Ia menggendong tubuh lunglai Mawar yang tangan berayun-ayun di pundaknya. Napasnya tersengal dengan jantung yang bertabuh sangat kencang. Bagi Tirta Aji malam itu sungguh mencekam seolah semua makhluk hutan memandang dan hendak memangsanya.

Sesekali lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menengok ke belakang, memeriksa apakah ada salah satu kaki tangan Veltman yang mengejar mereka. Karena bagi Tirta Aji, suara gesekan dedaunan malam itu seperti suara derap langkah sepatu tentara yang menginjak perdu di belakangnya.

Suara napasnya menguasai malam. Degup jantungnya menggaung di kesunyian. Namun Tirta Aji tak memutus pergerakannya. Ia terus berlari dengan beban di pundaknya. Beban seorang gadis, putri tunggal pemimpin pemberontakan itu. Masih meneruskan langkahnya, Tirta Aji akhirnya melihat lidah api yang menari di ujung buluh, sebagai tanda ia sudah hampir memasuki Desa Sidomoyo.

Lelaki itu berjalan mengendap. Manik mata hitam bulat dengan sorot tajam itu bergulir ke segala arah, menajamkan penglihatannya agar tidak dipergoki warga desa yang bisa saja menjadi mata-mata Londo. Langkahnya kadang berlari cepat, kadang berjalan pelan dan diselingi bersembunyi di balik pepohonan bila ada sesuatu yang mencurigakan.

Sampai akhirnya wajah lelah Tirta Aji berbinar kala melihat rumah sederhana berdinding gedhek itu terlihat dari kejauhan. Dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, Tirta Aji memastikan dulu suasana aman sebelum berlari keluar dari persembunyiannya. Lelaki itu memacu langkahnya, melintasi jalan sepi perkampungan dimana pada malam itu para penduduknya masih terbuai mimpi.

Tirta Aji–dengan keringat yang membasahi beskap sederhananya, dan Mawar yang masih terkulai di pundaknya–memasuki pekarangan yang berpagar pohon katuk. Jantungnya masih berdentum keras dan pandangan mengedar gelisah ke segala arah, saat ia mengetuk perlahan jendela rumah yang diketahuinya adalah jendela kamar dimana Hayati beristirahat.

"Mbokdhe ... Mbokdhe Hayati," desis Tirta Aji sambil mengetuk perlahan kayu daun jendela. Ketukan yang pelan itu terdengar menggema di seluruh sudut halaman.

Tidak ada suara dari yang dipanggil. Wajah Tirta Aji yang kelelahan semakin gelisah. Ia meningkatkan volume suaranya memanggil Hayati. "Mbokdhe ...."

"Sopo kowe (Siapa kamu)?" tanya suara perempuan dari balik jendela kayu.

"Tirta Aji. Tolong ... bukakan pintunya."

"Iyo (Iya)."

Tirta Aji bergegas ke pintu depan rumah. Ketika terdengar suara derik pintu yang kasar menyeruak di keheningan malam, mata Tirta Aji yang sayu karena didera beban berat di pundaknya menjadi cerah.

"Astaghfirullah! Ono opo, Ngger (Ada apa, Nak)?" Tirta Aji menerobos masuk tak menghiraukan pertanyaan Hayati.

Tirta Aji membaringkan Mawar di sebuah dipan ruangan yang biasa dipakai duduk dan bercengkerama bila ada tamu datang. "Ada apa ini, Ngger?"

Hayati membantu memosisikan tubuh Mawar yang terlihat pucat. Wajah anak gadisnya begitu dingin karena terpaan angin malam selama perjalanan. Tirta Aji mengambrukkan pantatnya di amben dan menopang tubuhnya dengan lengan lurusnya di belakang tubuh. Dadanya yang kembang kempis berusaha dinetralkan lebih dahulu sebelum dia bisa menjawab pertanyaan bertubi dari Hayati.

Disapunya keringat yang membasahi seluruh tubuh sehingga membuat pakaian yang dikenakannya basah kuyup. Melihat raut kelelahan Tirta Aji, Hayati mengambilkan kendi dan sebuah cangkir tembikar untuk pemuda itu.

Tirta Aji menerima kendi itu, untuk meneguk cairan di dalamnya. Didongakkannya kepala, saat menerima curahan air dari kendi yang telah diangkat ke atas. Begitu dahaganya terpuaskan, diulurkannya kembali kendi itu kepada Hayati.

MAWAR BULAN JUNI (NUBAR2P-Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang