"Bu, Ayah ada dimana?"
"Ayah sedang membela bangsa, Nak."
Jawaban itu telah muak kudengar selama ini.
Ayah yang katanya sedang membela bangsa.
Ayah yang katanya sedang memperjuangkan keadilan.
Ayah yang katanya sedang memimpin sebuah orasi demi kebaikan.
Ayah yang katanya di barisan terdepan siap perang.
Ayah yang selalu terlihat menjadi pahlawan dimataku.
Sudah berapa lama Ayah tidak menginjakkan kakinya di rumah kami?
Mungkin beliau sudah lupa bagaimana wangi sarapan buatan Ibu di pagi hari.
Aku tahu Ayah benar sedang membela bangsa ini. Aku ingin percaya akan hal itu.
Tetapi nyatanya, yang Ayah bela bukanlah bangsa ini, melainkan dirinya sendiri, dari bangsa ini.
Ayah bukan seorang pahlawan dengan kekuatan super. Ayah juga bukan seorang tentara yang memegang senjatanya. Bukan, Ayahku bukan orang seperti itu.
Ayah hanya seorang pedagang asongan keliling yang bekerja siang malam demi memberi sesuap nasi untuk kami.
Hari itu, ia lalai dalam pekerjaannya. Ia tidak menyadari daerah yang ia gunakan sebagai tempat jualan adalah kawasan yang melarang pedagang kaki lima. Ayahku tidak tahu akan hal itu dan tetap berjualan dengan keras.
Hingga satu persatu pedagang lain di kanan kirinya lari berhamburan kemana-mana dan hanya tersisa Ayahku.
Kesalahan Ayahku tidak besar. Hanya berjualan di tempat yang salah. Ayah mengakui dirinya tidak menyadari itu, Ayah jujur kepada aparat polisi yang menangkapnya.
Tapi, semuanya tidak ada yang memihak kepada Ayah. Beliau malah disangka membangkang dan melawan polis
Ayah akhirnya ditaruh di belakang jeruji besi yang dingin dan gelap itu.
Entah untuk berapa hari, bulan, atau tahun. Ibu tahu akan hal itu. Ibu hanya tidak ingin aku bersedih.
Ibu telah beberapa kali datang kesana untuk menjenguk Ayah. Tapi selalu gagal.
Nyatanya, kesempatan untuk menjenguk telah diperjual-belikan. Yang bisa menjenguk para tahanan, hanyalah orang-orang berkantong tebal. Tapi kami bukan orang seperti itu.
Ayah sempat mengajukan banding, yang aku tahu sebagai sebuah langkah yang salah. Hukuman Ayah bertambah berat.
Kesalahan Ayah merembet ke hal-hal yang tidak pernah beliau lakukan. Ayah dituduh mencuri dari pedagang lain dan Ayah dituduh merusak sarana umum.
Aku percaya pada Ayahku. Beliau bukan orang seperti itu.
Sedangkan, negara tempat beliau mengadu. Negara tempat ia menaruh seluruh hidupnya. Tidak pernah berpihak padanya.
Ayah selalu menjadi orang pertama di kampung kami yang menyerukan 'Merdeka! Merdeka!' pada tanggal 17 Agustus.
Ayah dan Ibu selalu berusaha memberi sedikit sumbangsih kepada warga lain yang membutuhkan, padahal aku yakin kami pasti lebih butuh.
Tapi saat Ayah tertangkap, tidak ada satu pun dari warga-warga yang pernah ditolongnya itu datang untuk membela Ayah. Untuk menolong Ayah keluar dari sana.
Bukannya aku pamrih, aku hanya ingin sedikit pertolongan untuk Ayah.
Semua toh sudah terjadi. Sebagian hatiku masih berkata 'Ayah akan pulang', tapi aku sadar. Ayah tidak akan kembali.
Dirinya sedang sibuk membela dan membenahkan bangsa, yang tak pernah menoleh ke arahnya.
÷÷
Spesial 17 Agustus
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words
Teen FictionBerisikan pemikiran yang terbersit saat menatap langit-langit kamar.