Ia menarik nafasnya perlahan.
Air mata mulai memupuk di kedua manik hitam itu.
Tangannya menggenggam tanganku yang berada di dadanya.
Wajah yang selalu berseri dan penuh warna itu kini hanya dihiasi warna abu. Bibir merah muda yang selalu menyebut namaku dengan girang itu, bahkan sekarang sudah pucat pasi.
Matanya mengerjap beberapa kali dan air mata pertama lolos dari tempatnya. Walau belum mengalahkan air terjun di mataku.
Suaraku terbata, berusaha mengucapkan kalimat apapun untuk menahannya pergi.
Kepalaku tertunduk dengan mata terpejam. Berusaha meminta kepada sang kuasa di atas sana untuk memberikan satu keajaiban untukku.
Tangannya yang lain mengusap air mata yang meluncur bebas di pipiku. Telunjuk rapuh itu mengangkat daguku untuk kembali menatapnya.
"Aku tidak akan melupakanmu," katanya perlahan.
Aku merasakan hangat tangannya, tangan yang selalu kugenggam saat berjalan di tepi pantai sambil memandang matahari kembali ke rumahnya.
"Walaupun aku bunga, pohon, atau air sekalipun," ia menarik nafas dalam, "Aku akan selalu menemukanmu dan menggenggam tanganmu lagi."
Ia menghembuskan nafas terakhirnya dan perlahan menutup kedua matanya.
Di detak jantung terakhirnya pun, ia tetap mencintaiku.
÷÷÷
39 days before Christmas
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words
Teen FictionBerisikan pemikiran yang terbersit saat menatap langit-langit kamar.