Kata orang, kamu hanya perlu tiga detik untuk jatuh cinta.
Dan itulah waktu yang dibutuhkan untuk hatiku dimilikinya.
**
Hari ini aku ingin menceritakan sebuah kisah,
Bruk!
"Eh, maaf-maaf. Gak sengaja," ucapnya saat ia menyadari dirinya baru saja menabrak sesuatu.
"Astaga," ucapku saat melihat semua barang yang aku bawa di dalam kotak sudah berserakan di lantai.
Aku buru-buru berjongkok untuk merapikan barang-barang itu, memasukannya kembali ke dalam kotak yang kubawa.
"Kalian duluan aja, nanti gue nyusul. Bantu dia dulu," ia sedikit memerintah, mungkin kepada teman-temannya?
Entahlah, aku tidak punya waktu bahkan untuk menengok sekali pun.
Setelah teman-temannya, yang sekitar empat orang dari suaranya, pergi, ia berjongkok di depanku untuk membantu.
"Kertas, alat tulis, kabel, dan ornament," katanya sambil melihat barang-barangku, "OSIS ya?"
Tepat saat itu. Saat pertanyaan itu ia lontarkan.
Mata kami bertemu.
Tiga detik terasa berjalan dengan lambat.
Mungkin karena matanya yang kecoklatan membuatku tenggelam. Mungkin juga karena lesung pipitnya yang begitu manis. Atau karena senyumnya yang terlalu menawan?
Beberapa detik itu berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat dan nafasku tertahan.
Aku tersadar dari keterpanaanku dan segera kembali menunduk mengambil sisa barang di lantai, mengembalikannya ke tempatnya.
"Sini, aku bantu bawain," tawarnya saat aku sedikit kesusahan mengangkat kotak itu.
Memang kotak itu lumayan berat karena isinya yang banyak. Tadi juga aku lumayan terburu-buru karena panitia membutuhkan perlengkapan ini.
Aku berlari dari lantai satu menuju lantai empat untuk mengantarkan kotak ini. Terlalu tidak fokus hingga bisa menabrak orang lain.
Padahal aku bagian acara, ini seharusnya tugas sie perlengkapan. Hanya karena aku masih kelas satu mereka bisa menyuruhku seenaknya.
"Eh, gak usah gapapa kok," kataku tidak enak.
"Gapapa, ini berat tau, emang cowok yang lain kemana?" tanyanya sambil kita berjalan beriringan.
"Ada yang duduk-duduk, atau ngadem di bawah AC," jawabku sedikit jengkel.
Lelaki di sampingku tertawa mendengarnya.
"Duh, yang kaya gitu pecat aja. Gimana bisa jadi OSIS, tapi gak mau kerja?"
Aku mendangak melihatnya yang lebih tinggi dariku, mungkin sekitar sepuluh centi.
"Ke aula kan?" tanyanya dan aku mengangguk.
"Maaf ya, tadi lagi jalan-jalan keliling sekolah ini. Yang lain pada heboh banget jadi gak sengaja nabrak," ia berkata dengan begitu halus dan tulus.
"I-iya gapapa kok. Tadi saya juga buru-buru," kataku dengan bahasa yang terbilang formal.
Aku sempat melihat badge di lengan baju kanannya tadi. Nama sekolah yang sama dengan di bagdeku, tapi nama kota yang berbeda.
Ia memakai seragam dengan bagian bawah yang keluar dan dasi yang sengaja dilonggarkan.
Pasti anak nakal, batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words
Teen FictionBerisikan pemikiran yang terbersit saat menatap langit-langit kamar.