FATAHILLAH ¤¤¤ Empat

176 12 6
                                    

Haeee kleannn.
Ini setelah sekian lama cerita ini dikandangkan dan up lagi sampai berabad-abad lamanya. Sedih akutuh karena nggak banyak yang atau belum aja kali ya, yang komen like share andhhh subrekkk, uhuk!

Tolong dong gaiss! Kasih aku semangat ya dengan cara spam komen, kasih bintang, tapi kalo kamu belom niat ngasih itu di bab ini nggak papah daku masih sabar untuk tetap istoqomah Nur Hidayatullah untuk tetap melanjutkan jihad menuntaskan cerita ini.

Doain aja idenya mengalir bagaikan air di kali terdekat yayyy!

Ku sayang klean yang tetap stheiii sama Fatahillah😘😘😘(kisseu dulu)

Happy reading
==========

[Zalesta Kaara]

Banyak hal yang membuat semua tidak berjalan semestinya, sesuai apa yang kita inginkan, sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Bahkan ketika lo sudah berusaha sekuat tenaga, sampai jungkir balik dan nyungsep senyungsep-nyungsepnya. Tetap saja hal itu tidak seperti apa yang kita mau, apa yang kita angankan.

Tapi. Ada satu titik dimana lo bisa pasrah, menerima dan memaafkan diri lo sendiri atas ketidak berdayaan lo yang belum bisa mewujudkan hal tersebut saat ini, besok ataupun di waktu yang lo sendiri nggak bisa nentuin. Maka pasrahkan semuanya kepada Sang pemberi segala hal di hidup ini.

Pernah ngerasa imajinasi dirasa lebih menyenangkan ketimbang kenyataan? Itu sebabnya kenapa gue lebih senang nonton filem kartun ketimbang kisah nyata, nggak tau kenapa mengetahui mereka itu hanyalah animasi bikin gue lega sendiri setelah nonton. Animasi = nggak nyata. Nggak ada yang tersakiti dari kejadian yang gue tonton. Naruto misalnya, mau babak belur sampai mampus juga nggak ada Ambulance yang dateng buat bawa mereka ke rumah sakit. Sebab it's not real, itu semua hiburan untuk menyenangkan.
Lah gue, apa gue cuma hiburan buat seorang Adena. Lo tau, dia Fatah. Adena Raskal Fatahillah. Gue babak belur! Bukan, maksudnya. Hati gue yang babak belur dan nggak ada tuh Ambulance uwiw-uwiw yang dateng. Dan gue bersyukur untuk hidup gue ini yang tidak sesinetron itu.

"Taaaaa!"

Oh ya, tentu ini bukan rumah sendiri. Dimana tidur sampai siang di hari Minggu adalah surga dunia yang tak terelakan. Lupa, dimana hp gue semalam. Mata gue masih terpejam tapi tangan sudah mirip alat pendeteksi benda logam.

"Esta! Fatah tuh, buruan bangun deh ah. Yang ada pintu rumah emak gue ambruk digedorin mulu." Suara lain dari pita suara Sharon. Mungkin yang tadi itu Nua, soalnya diayak sedikit dan terdengar lebih halus untuk di olah gendang telinga. Jenis punya Sharon mungkin gendang dangdutan organ tunggal Mahameru di daerah yan- oke lupain.

Dengan tempo yang selamban-lambannya gue menuju pintu. Didepan pintu kamar ada Sharon si anak empunya rumah yang sudah stay dengan muka kesal. Gue merasa nggak enak sendiri, bagaimanapun  gue ini ngegelandang di rumah orang.
"Sumpah ya, si Fatah nggak tau etika weekend banget. Ini tuh baru jam tujuh pagi. Lo bayangin, lo bayangin gue tuh semalem ngoroknya pas pergantian hari, Ta." Sharon memulai khutbah pagi harinya, ini tidak bisa dibiarkan. Sangat tidak baik untuk kesehatan telinga, paru-paru, hati, empedu dan tulang-tulang manusia rapuh semacam Nua yang baru saja melintas dengan mata ngantuknya.

"Iya, maaf. Gue turun ini sekarang." hanya itu yang bisa gue suarakan ketika Nua hendak bicara dan protes, sedangkan Sharon menuju kamar melanjutkan tidurnya.

"Fatah di depan, Ta."

Gue hanya mengangguk untuk pemberitahuan dari Leksa yang sudah rapi, dia mau berangkat kerja kayaknya.

Fatahillah || REVISI SETELAH TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang