2. Perihal Perasaan Gilaku

1.7K 194 31
                                    

25 Februari 2019—Lapangan Tenis SMK N 2 Karanganyar. Hari di mana Fikri lebih mirip penyidik KPK daripada Pembaris Muda. Sahabatku sejak masih TK itu terlalu banyak bicara hari ini. Meskipun apa yang Fikri katakan adalah kebenaran. Ia selalu lebih mengerti bagaimana aku dan mengerti bagaimana tatapan mataku. Begitu pahamnya ia tentangku, hingga kupikir ia adalah ayahku. 

Benar, hari ini adalah hari pematangan terakhir untuk tim baris-berbaris dari SMKN 2 Karanganyar—Patriakara. Tanggal 27-28 Februari 2019 nanti akan mengikuti lomba baris-berbaris di tingkat Kabupaten Karanganyar. Dan aku ialah Komandan Peleton dari Patriakara, ketua angkatan Patriakara 19, dan murid yang paling banyak diidolakan di sekolah pun di luar sekolah. Jika digambarkan, aku ini laiknya artis internasional.  

Tidak percaya? Sungguh aku tidak sedang ingin berdusta. Mungkin kamu juga mengingatnya, bagaimana isi ponselku pada hari-hari sebelum tanggal 25 Februari ini, Mbak. Isinya tak lain dan tak bukan ialah pesan-pesan singkat dari perempuan-perempuan yang mengharapkan balasan. Namun, jarang sekali kulakukan, lebih nyaman untuk mengarsipkan pesan. Mbak Dara sungguh tahu banyak hal tentangku, tentang ceritaku, dan aku tahu banyak hal pula tentang dirimu.

“Ta, kelihatan banget lagi,” tegur Fikri saat kami berjalan beriringan menuju masjid. 

“Apa?” tanyaku bingung.

Fikri tidak menjawab dengan kata, hanya senyum yang terkesan mengejek pun penuh misteri.

Hingga latihan berakhir pun Fikri terus mengatakan bahwa semuanya terlihat sangat jelas. Aku masih tidak tahu bahwa yang Fikri katakan adalah tentang perasaanku padamu. Kupikir tatapanku biasa saja, tetapi Fikri bilang tak ada yang biasa dari tatap mataku. 

“Sejak kapan suka sama Mbak Dara?” tanya Fikri menggendong ransel hitamnya. 

Kami masih di dalam basecamp, hendak pulang namun terhalang hujan. 

“Apa sih, Fik? Gila kali!” 

Fikri tertawa. “Ya, cinta memang terkadang segila itu.”

Aku hanya menggeleng. Fikri benar sahabatku. Sejak TK sudah bersamaku, tak pernah berpisah sekolah meskipun sering berpisah kelas, dan aku selalu menceritakan apapun dengannya, Mbak Dara pun tahu itu. Sayangnya, aku tetap ingin menyembunyikan perasaanku dari siapapun. Mengapa? Pertama, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; kedua, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; ketiga, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; keempat dan seterusnya hanya ada satu alasan, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan. 

Gemericik air semakin deras, hanya tersisa aku dan Fikri di teras basecamp. Yang lain jelas pulang lebih dulu, mengenakan jas hujan, rumah mereka pun dekat. Sementara rumahku dan Fikri cukup jauh dari sekolah, mungkin ada 15 km. Maka wajar jika kami menanti hujan reda.

“Mbak Dara kelahiran tahun berapa sih?”

“1997,” jawabku bermain tetesan air hujan, sepertinya teras basecamp bocor. 

“Kamu 2002?” 

Aku diam. Itulah masalahnya mengapa aku anggap mencintaimu adalah kegilaan. Cinta ternyata tidak pernah bersekolah, untuk itu ia terlalu bodoh memperhitungkan angka dan pembeda. 

“Mbak Dara lagi skripsi, ya?”

Mengangguk. 

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang