21. Untuk Waktu Yang Lama

1.7K 188 37
                                    

Lagi dan lagi tahun berganti, kamu masih setia menghitung tanggal, berharap ada yang terlewat dan tak ada tanggal merah yang harus dilalui. Setiap hari aku melihatmu mengatur pola makan, pola istirahat dan meninggalkan semua aktivitasmu di luar asrama. Seharusnya banyak seminar, novel terbaru seharusnya terbit, sekarang seharusnya kamu lebih banyak keluar untuk riset, tapi kamu memaksa dirimu sendiri untuk melakukan kebalikannya. Olahraga setiap hari, denganku atau tanpa aku. Doamu kadangkala lebih panjang dari doaku, pintamu lebih lirih dan tulus dari pintaku. Bukan aku tak ingin, mungkin karena aku lebih pandai menerima untuk saat ini.

Umurmu sudah 33 tahun sekarang dan aku 28 tahun, hidup hanya berdua dengan segala sorot mata. Dari penggemarmu ataupun pembencimu, semua mata seolah tertuju pada kita. Memberi semangat, memberi kritik pedas, ini rumah tangga kita tapi orang lain ikut berbicara.

"Mas!" panggilmu dengan volume yang menggebu.

"Kenapa?" tanyaku melepas sepatu di teras rumah.

"Kayanya aku hamil deh."

Mendongakkan kepala, menatap pipimu yang merah. "Seriusan?"

"Harusnya Minggu kemarin kan haid, tapi kok sampai Minggu ini enggak."

"Sudah cek?"

Menggeleng ringan.

"Cek dulu aja."

"Beliin..."

"Oke."

Bergegas pergi dengan penuh harapan untuk menjadi nyata. Kita sudah menunggu untuk waktu yang lama. Tidak, mungkin 2 tahun lebih bukan waktu yang lama bagi beberapa orang. Beberapa orang tua harus menunggu puluhan tahun untuk dipercaya Tuhan, tapi kita berdua memang begini, hari-hari terasa panjang karena kita seolah benar-benar menunggu, menghitung waktu, menyulam doa.

Kembali dengan beberapa alat dan menunggumu dengan cemas di balik pintu kamar mandi. Aku sungguh berharap kali ini ada kebenaran dan kebahagiaan yang sesungguhnya untuk kita. Meski aku sudah menetapkan standar bahagiaku adalah kamu, sepertinya sesekali standar bahagiamu berubah, terkadang menerima, terkadang seperti orang yang kalap doa. Terus berdoa dan berusaha. Tekadmu sejak dulu memang tak pernah berubah.

"Mas," panggilmu keluar dari kamar mandi setelah cukup lama tanpa suara, tersenyum lebar dengan tangan gemetar, menunjukkan testpack yang terbalik.

"Gimana?" Jantungku berdebar-debar. Aku sungguh berharap yang terbaik.

Menarik testpack di tanganmu, melantunkan doa-doa yang kubisa, apapun hasilnya semoga yang terbaik. Kita harus percaya bahwa apa yang kita minta akan selalu datang di waktu yang tepat, siap atau tidak siap.

Senyummu semakin lebar saat aku membalik testpack di tanganku, dua garis dan kamu bilang, "Sudah siap menjadi Ayah? Aku akan sangat manja mulai hari ini. Aku ingin manja-manja denganmu, sebelum anak kita yang manja-manja padamu."

Memelukmu erat, kebahagiaan mana yang melebihi kebahagiaan kita saat ini? Tidak ada.

"Lakukan apa yang kamu mau," bisikku dengan rasa syukur yang begitu besar di dalam hatiku. Kuharap Tuhan mendengarnya meski hanya di dalam hati, tidak, Tuhan pasti mendengarnya.

"Aku mau Mas Apta masak steak buat aku, sekarang!" katamu dalam dekapku.

Bibirku yang mengembang sempurna langsung redup. Bagaimana bisa dia memerintah suaminya sekarang juga, padahal sebelumnya dia tidak melakukannya?

"Sekarang?"

Kamu mengangguk mantap setelah aku melepas pelukanku.

"Kamu belum masak apapun?"

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang