9. Jangan Mencari

728 142 11
                                    

Aku telah menghilang dari semua jarak pandang yang ingin kamu ciptakan. Aku selalu bersembunyi di tempat terbaik agar tidak lagi menatap mata berbinarmu yang mematikan detakku. Aku selalu mencari alasan untuk tidak merindukanmu, bahkan meski terlalu menggebu untuk diredam. Entah sudah berapa bulan kulakukan itu. 

Saat semua temanku sibuk mencarimu, menemuimu, memberimu selamat atas gelar sarjanamu dan memberimu selamat atas bertambahnya usiamu, aku hanya diam tanpa melakukan apapun. Ketika kamu berusaha menghubungiku, mengucapkan selamat ulang tahun padaku, aku bahkan berusaha tidak acuh pada apa yang kamu sampaikan. Aku telah benar-benar memutuskan untuk menghilang, berdamai dan/atau melupakanmu. 

“Ta, kemarin dicari Mbak Dara. Kenapa sih, nggak pernah mau menemui Mbak Dara? Aku pikir semua orang di sini sayang sama Mbak Dara. Ternyata cuma kamu yang omong kosong!” celetuk Risa ketika kami semua sedang bersendagurau di sela rapat penentuan jadwal latihan.

Bungkam, menghela napas panjang.

Teruntuk Risa, sahabat baruku di masa SMK. Bahkan rasa sayangmu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa yang kupunya. Bagaimana bisa kamu menghakimiku semacam itu? Aku menghindar tentu dengan alasan, bukan tanpa alasan. 

“Ris, Ris, nggak usah sok tahu!” Fikri yang menanggapinya. “Ada sesuatu yang belum kamu mengerti dalam hal ini.”

“Apa?” Risa penasaran. 

“Nggak apa-apa,” seruku menghela napas. 

“Aku tahu,” sambar Febri, teman satu jurusanku.

Kami semua menoleh pada Febri. 

“Caramu jatuh cinta, caramu patah hati, dan caramu lari untuk penyembuhan, itu cara paling basi yang dilakukan semua orang, paling tidak, pernah dilakukan.”

Aku justru tidak paham. 

“Nah!” Fikri yang paling sejalan.  “Caranya jatuh cinta itu lurus saja, dan jelas. Iya kan, Feb?” 

Febri mengangguk. “Caranya dia pergi untuk melupakan pun jelas. Kamu boleh tidak banyak berbagi cerita denganku, Ta. Tapi aku ini tidak bodoh-bodoh amat untuk menilai. Sejak kapan kamu jatuh cinta sama Mbak Dara?”

“Hah?” Risa, Yahya, Nandar, dan semua teman seangkatanku di Patriakara, kompak.

Aku memejamkan mata. “Siang bolong memang paling asyik omong kosong!” kataku sedikit menggeser posisi dudukku.

Maksudku, aku ini sedang berusaha menjauh dan/atau melupakanmu, tapi mengapa harus diungkit lagi perihal waktu jatuh cintaku? Itu semua sudah habis, sudah habis masanya dan terganti oleh masa-masa patah. Biarkan rasa itu enyah, dan biarkan aku berdamai dengan caraku.

“Sumpah aku gemeteran!” Risa menatap jari-jemarinya sendiri. “Kamu seriusan, Ta?”

“Nggak!”

“Ya, lebih baik jujur dan kita semua akan membantu. Daripada kamu terus menghindar sendirian, Ta,” usul Fikri. 

Tetap saja aku memilih untuk bungkam. 

“Jadi kamu beneran oedipus complex, Ta?” tanya Nandar.

“Mbak Dara juga nggak setua itu, Nan,” balasku membuat yang lainnya menjadi bungkam. 

Untuk Dara Laksmi SasmitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang