“Pensil udah?”
“Udah,”
“Penghapus sama Papan Jalan?”
“Udah,”
“Contekkan?”
“Hush, apaan sih Dan, ini serius...” tegur Shanad menepuk bahu Dane yang dikiranya ngelindur. Dane hanya terkekeh sambil terus berjalan menuju Ruang Ujiannya.
Hari ini adalah Hari pertama pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP. Dan sekaligus penanda bagi mereka untuk menghadapi medan perang 15 menit lagi. Shanad dan Dane sudah mempersiapkan semuanya. Termasuk bimbingan belajar intensif dari Dane selalu dihafal Shanad.
Meski saat ujian berlangsung, Shanad tidak boleh meminta bimbingannya diulang, ia harus yakin dengan kemampuannya bahwa ia bisa tanpa Dane. Sebelum berangkat sekolah, Shanad meminta doa restu ibunya agar ia diberi kemudahan menjawab soal oleh Tuhan. Ditambah, Shanad meminta doa dari tetangganya agar diberi kelancaran dalam mengerjakan soal.
Pagi tadi Shanad juga menyempatkan sarapan agar lancar berpikir sewaktu berlangsungnya ujian. Kata Dane, sarapan bagus untuk berpikirnya otak. Apalagi jika sarapannya telur,susu dan daging. Jadilah Shanad menuruti apa kata Dane yang notabene lebih pintar darinya, ia menyediakan telur, nasi, sedikit daging ayam dan membeli susu kotak diwarung sebelah untuk menu special ujiannya hari ini dan untuk hari-hari kedepan.
Kebetulan Shanad dan Dane berbeda ruang ujian. Shanad berada diruangan setelah Dane karena nama depannya didahului huruf “S” . Tapi itu bukan masalah bagi Shanad. Ada tidaknya Dane diruangannya, tidak akan mempengaruhi nilai Ujian Nasionalnya kelak. Ia tak butuh bantuan, apalagi contekkan untuk mempermudah nilainya. Yang ia butuhkan hanya doa dari orang-oarang yang iklas berdoa untuknya.
“Gue masuk dulu, sukses ujiannya!” kata Dane menyemangati Shanad sebelum memasuki ruang ujian. Shanad mengacungkan jempolnya, lalu berjalan memasuki ruang ujiannya dengan perasaan siap.Ù
Empat hari telah berlalu, semua soal yang dikerjakan Shanad ternyata ada beberapa yang sudah dibahas Dane ketika membimbing Shanad belajar. Dan Shanad puas dengan itu. Ia yakin nilainya tidak akan buruk dan cukup untuk modal masuk sekolah favorit incarannya.
“Kebetulan, pas pembagian NEM, ibu ulang tahun lho...” kata Shanad dari balik masker. Sudah dua hari terakhir ini, ia menderita flu berat. Ia memakai masker karna takut Dane ketularan penyakitnya.
“Hm, terus?” jawab Dane pendek. Seakan tak penasaran.
“Gue mau ngasih kado ibu selain nilai NEM, tapi apa ya?” Shanad sibuk berpikir. Manik matanya mengarah keatas seolah ia benar-benar sibuk berpikir.
“Baju?” usul Dane. Shanad menggeleng tak setuju.
“Waktu itu ibu pernah kehilangan kalung emasnya pas lagi nyuci. Apa beli itu aja ya?” kata Shanad akhirnya. Dane mengangguk mengiyakan.
“Gue ada sedikit tabungan, mau gue tambahin?” tawar Dane. Shanad segera menggeleng menolak tawaran Dane.
“Engga, engga...ini murni dari tabungan gue.”
“Oke, butuh ditemenin belinya?” tanya Dane. Shanad membalasnya dengan sebuah jempol sebagai tanda.Ù
“Ini harganya berapa Ki?” tanya Shanad kepada aki-aki penjaga toko mas di Pasar Baru. Aki itu memeriksa kalung emas yang tadi di tunjuk Shanad.
“Yang ini agak mahal, bisa sampe tiga juta neng.” Jawab Aki itu membuat senyum Shanad semula memudar.
“Mmm...kalo yang ini? ini agak mirip sama yang punya ibu.” Tunjuk Shanad pada kalung yang lainnya. Kalung emas dengan liontin mutiara imitasi ditengahnya.
“Yang ini 1.8 jutaan, emas nya asli, kalo mutiaranya baru imitasi.”
“Mmm...yang dibawah 800 ngga ada Ki?”
“Waduh, kalo yang itu biasanya emas palsu, kalo engga perak. Perak harganya lebih murah.” saran Aki itu, memasukkan kembali kalung yang dipilih Shanad tadi ke rak kaca.
Shanad kecewa. Tak ada satupun kalung pilihannya yang harganya memenuhi isi dompetnya. Ia baru saja akan pulang dan membatalkan niat membeli kalung untuk hadiah ibunya ulang tahun, ketika Dane tahu-tahu meminta Aki tadi untuk segera membungkus kalung itu.
“Ini saya beli satu Ki, dibungkus.”
Shanad berbalik arah. Ditangan Dane, sudah ada bungkusan plastik kalung pilihannya. Shanad melotot dan dibalas cengiran dari Dane.
“Ini kan yang lo mau? Jangan malu untuk minta bantuan temen sendiri.” kata Dane menyerahkan bungkusan itu pada Shanad. Shanad menerimanya ragu. Lalu mengucapkan terimakasih pada Dane.
“Thanks banget Dan, elo tuh ya...” kata Shanad greget. Dane merangkul pundak Shanad dari belakang. Mereka keluar Pasar dengan tujuan yang tercapai, itu semua berkat Dane tentunya.Ù
“DANEEEE.......AAARGH MAKASIH BANGET MAKASIH BANGET....” teriak Shanad histeris. Hari ini pembagian hasil NEM. Mereka dipersilahkan maju satu persatu untuk medapatkan amplop berisi NEM dalam bentuk sederhana sebelum menjadi ijazah. Dan Shanad terkejut mendapati nilai UN nya sesuai harapan.
“Gue 34,5. Gila, gila...ini kayak mimpi.” ucap Shanad masih belum percaya. Dane lantas mencubit pipinya hingga Shanad meringis kesakitan.
“Aw, sakit tau.” protesnya.
“Pecaya kan, kalo bukan mimpi?”
“Terus, lo berapa?” tanya Shanad melirik amplop Dane yang bahkan belum terbuka segelnya. Shanad berusaha merebut amplop itu dari tangan Dane.
“Ets, yang punya aja belom liat. Rencananya mau gue buka dirumah.” jawab Dane membuat rasa penasaran Shanad makin menjadi-jadi.
“Ah, ngga seru ah...” Shanad masih berusaha menggapai amplop itu dari tangan Dane. Dan akhirnya berhasil ia dapatkan. Tanpa menunggu protes dari si empunya, Shanad segera merobek segel amplop Dane dan membuka lipatan surat hasil NEM Dane. Betapa terkejutnya Shanad ketika tahu nilai Dane lebih diluar dugaannya.
“Gila, gila, gila...39,20?! OMAIGAD....” pekik Shanad histeris, tak peduli teman-temannya meliriknya aneh. Pemilik nilai malah santai ketika Shanad menyebutkan total nilai UN nya.
“Kita harus merayakan kemenagan ini Dan, kali ini, gue yang traktir.” kata Shanad menawari Dane. Dane mengangkat sebelah alisnya ragu. Seharusnya mereka tak perlu merayakan apapun untuk kemenangan yang dibuat-buat Shanad, karena sepertinya mereka terlalu sering merayakan keberhasilan nilai TO Shanad karena berhasil naik beberapa point.Ù
Sore ini hujan turun dengan lebat. Suara bising kemacetan ramai terdengar. Suara gemuruh dari sang cakrawala menghantam pendengaran penghuni dibawahnya. Bau tanah tercium hingga dalam angkot yang ditumpangi Shanad dan Dane.
Mereka semangat menuju rumah Shanad, terutama Shanad yang sangat begitu berenergi pulang kerumahnya yang ingin segera memberi kejutan kepada ibunya. Dua kejutan sekaligus. Pertama hasil NEM nya tadi pagi, kedua kalung emas pemberian dirinya hasil dari meminjam uang Dane. Shanad tak tega untuk meminta kalung itu, ia berjanji kepada Dane, suatu saat ia berjanji akan membayar harga kalung itu. Saat dimana ia sudah menemukan pekerjaan tetap dimasa mendatang. Dane hanya perlu menunggu saat itu hingga Shanad kembali kepadanya dengan uang yang dibawa Shanad.
“Gimana ya, perasaan ibu...pasti seneng banget deh.” oceh Shanad ketika turun dari angkot. Dane hanya tersenyum mendengarnya. Hujan mulai mereda ketika mereka sampai didepan gang.
“Ngga apa-apa kan, kita ngga bawa kue?” tanya Shanad khawatir, dijawab gelengan kepala Dane yang mengisyaratkan ibunya tidak akan marah. Shanad tersenyum ceria kembali.
Belum sempat sampai kedepan rumahnya, Bi Arum, salah satu tetangganya mendadak menghampirinya dengan raut wajah tak bisa diartikan.
“Neng...itu...itu...” kata Bi Arum terbata-bata, membuat Shanad dan Dane beradu pandang tak mengerti.
“Apa bi?” tanya Shanad pelan pelan.
“Bu tari, me...meninggal.”
Bagaikan semua gemuruh sore itu berkumpul didada Shanad. Nafasnya serasa terhenti, otaknya bahkan tak bisa mencerna kata-kata Bi Arum barusan. Dadanya sesak, kakinya kaku untuk bergerak. Matanya masih menatap Bi Arum didepannya. Bayangan tentang kebahagiaan ibunya ketika mendapat kejutan darinya, seketika pudar. Tak ada yang bisa dirayakan hari ini, sudah terlambat. Ia bahkan belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibunya. Ia belum sempat memberikan kenangan terakhir kepada ibunya.
Bahkan tadi pagi, Shanad belum sempat mencium punggung tangan ibunya untuk berangkat kesekolah karena takut terlambat. Shanad tercekat mendengar pernyataan Bi Arum barusan. Pertahanannya jebol, seketika ditempat itu juga Shanad menangis tanpa suara. Hanya Dane yang dapat mendengar rintihan tangisan Shanad. Dane segera mengambil tangan Shanad yang mulai dingin, lalu menariknya menuju rumah Shanad yang ternyata benar, sudah dipenuhi para pelayat almarhum ibunya berbaju serba hitam dengan bendera kuning di tiang kayu rumahnya sebagai penanda.
“Ibuuuu....” Shanad berlari menuju rumahnya. Tangisnya langsung pecah, para tetangganya mengelus pundak Shanad agar ia bersabar. Ibunya sudah terbaring kaku dalam balutan kain kafan yang diselimuti selendang batik di atas tikar hijau lumut yang bahkan sudah mulai robek sisi sisinya.
Shanad memeluk ibunya erat, berharap ibunya masih bisa bangun untuk sekedar menyapanya. Tapi itu semua tidak mungkin, ibunya sudah berada di dunia yang berbeda. Dan hanya bisa menatap Shanad dari kejauhan. Dane menatap Shanad dari depan teras rumah Shanad. Kini ia tahu, Shanad sudah tak mempunyai siapapun selain dirinya. Shanad harus hidup sebatang kara disaat ia belum menginjak bangku SMA. Hari ini ulang tahun ibunya, Tuhan mempunyai rencana indah untuk Shanad. Hadiah terbaik untuk ibunya saat ini adalah, merelakan ibunya pergi untuk selama-lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Neverending
RomanceTuhan tahu, Kita diciptakan bersama untuk berbagi takdir. Sepenuhnya aku, adalah bersamamu. Tuhan tahu, Menciptakanmu disisi ku tak sia-sia. Bumi tak akan dengan mudahnya terbelah walaupun dirimu jauh. Tuhan juga tahu, Bahwa cinta yang dimiliki seti...