Finally, We Meet Again

324 15 0
                                    

Gerbang SMA Harapan Kartini sebentar lagi akan segera dibuka. Namun belum ada satupun murid yang menantikannya, kecuali Shanad yang sejak 15 menit yang lalu menunggu dengan tidak sabar gerbang sekolahnya dibuka. Ia sengaja datang lebih awal karena tidak ingin mengulangi insiden tiga tahun yang lalu. Saat gerbang SMP nya dikunci karena dia terlambat. Lalu seseorang membantunya masuk secara ilegal dengan memanjat tembok berduri satu-satunya  jalan masuk alternatif menuju sekolah barunya.
      Ya, orang itu Dane. Dan sekarang orang itu tak lagi berdiri disampingnya. Dua minggu sejak kepergian ibundanya, Dane bahkan tak memberi kabar apapun untuk Shanad. Mereka sudah jarang bertemu, entah apa alasan Dane untuk tidak lagi menghubunginya. Hari-hari libur Shanad hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Untungnya para tetangganya berbaik hati menunjang perlengkapan sekolah Shanad dengan mengumpulkan santunan kepada Shanad. Shanad merasa bersyukur. Tetangganya masih peduli untuk membantunya.
      Shanad menyapa penjaga sekolah dengan sopan. Melangkahkan kaki-kakinya dengan ringan diatas rerumputan yang masih terasa basah karena semalam sempat diguyur hujan.
      Gedung sekolah didepannya sangat besar. Bangunannya terlihat kokoh dengan tiang pondasi yang terbuat dari baja berkualitas terbaik. Gedung sekolahnya tidak terlihat seperti sebuah sekolah pada umumnya.  Gerbang sekolahnya lebih mirip bangunan arsitektur terkenal seperti Arch de triomphe dan gedung sekolahnya bisa diibaratkan White House walaupun tidak semegah itu.
      Shanad menatap kagum sekolah barunya itu. Ia bersyukur telah lolos pada tes ujian masuk kesini sekitar dua minggu yang lalu. Andaikan ibunya masih ada, betapa bersyukurnya beliau mengetahui anak emasnya berhasil diterima disekolah bergengsi di Jakarta saat itu.
      Dipandanginya gedung itu dengan tatapan luar biasa kagum. Tak menyangka dirinya akan benar-benar menginjakkan kaki di sekolah yang akan menjadi bagian dari  hidupnya.
     Dane. Nama itu tiba-tiba muncul dikepalanya. Shanad merasa ada yang berbeda tanpa Dane disisinya. Dane betul, Shanad selalu bergantung pada Dane. Ia terlalu manja dan naif. Tapi sejujurnya, ia merindukan sosok yang kadang keras kepala itu.
     “Mau?” kata seseorang secara tiba-tiba yang sudah berdiri disampingnya. Shanad terlonjak kaget, mengetahui seorang cowo berkacamata minus tebal dengan potongan rambut mangkuk menawarinya sebuah lolipop milkita rasa stoberi. Shanad menerimanya ragu.
     “Eh, makasih.” balas Shanad sambil membuka bungkusan lolipop ditangannya.
     “Awan. Gustiawan” cowo itu memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan Shanad. Shanad terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba.
     “Shanad. Shanada Guntara.” balas Shanad kikuk. Awan tersenyum kepadanya memamerkan deretan gigi-giginya yang rapi.
     “Jalur Prestasi?” tanya Awan seolah bisa menebak. Shanad mengangguk.
     “Kamu, juga?” Awan mengangguk kencang. Baru kali ini Shanad menemukan teman seperti Awan. Sangat unik pikirnya. Tapi Shanad selalu terbuka dengan siapapun. Baginya siapa saja yang mau berteman dengannya, selalu ia hargai.
     “Kelas kita sama. Aku tahu dimana.” Awan berjalan mendahului Shanad. Shanad mengikutinya dari belakang, seolah percaya dengan peryataan Awan barusan. Awan menyusuri koridor dengan cepat seperti sudah menghafal rute sekolah ini dikepalanya. Tak berapa lama, mereka sampai didepan kelas yang dindingnya dilapisi marmer berwarna kuning kecoklatan. Kelas mereka berada dilantai dua gedung utama.
10-4.
      Itulah kelasnya kelak. Kelas yang ia harap tidak sama dengan suasana kelasnya di masa SMP. Sekaligus kelas tanpa Dane didalamnya. Entah siapa yang akan menjadi teman mainnya nanti, bisa jadi Awan adalah pengganti Dane dengan suasana yang pasti berbeda.
     “Aku duduk disitu.” tunjuk Awan kepada salah satu bangku yang berada paling belakang dekat jendela. Dari jendela itu, Awan bisa melihat jelas pemandangan dibawahnya. Hijaunya rerumputan dan gemericik air mancur terlihat dari situ. Hawanya pun sejuk terasa. Cocok dinobatkan sebagai tempat favorit di kelas ini. Sayangnya formasi tempat duduk di kelasnya tidak ganda. Setiap murid disediakan satu meja dan kursi serta satu loker kecil yang letaknya berada paling belakang. Tak ada rak sepatu bau lagi dikelas Shanad yang baru.
      Shanad memilih bangku tak jauh dari tempat Awan. Lalu menyelipkan tas selempangnya yang baru terisi dua buku di laci meja. Sebagai murid baru, tak ada salahnya kan tidak membawa barang banyak?
      Satulagi. Sekolah ini tak ada sesi MOS untuk menguji mental calon peserta didik. Jadi Shanad tak perlu khawatir akan menjalani masa awal sekolahnya dengan perasaan lelah. Karena tak ada lagi tempat untuknya mengadu, setelah kepergian ibunya. Hanya ada rumah dan foto hitam putih ibunya yang digantung di atas meja belajarnya.
      Tak berapa lama, kelas sudah dipenuhi oleh calon penghuninya. Nampak dandanan dari mereka sangat berbeda dengan Shanad dan Awan yang sederhana. Bahkan beberapa anak cewe dikelasnya melumuri wajah mereka yang alami dengan make up yang dibuat senatural mungkin namun tetap memberi kesan mencolok.
     “Hai, nama?” tanya cewe berambut lurus hasil dari rebonding salon kepada Shanad.
     “Shanad.”
     “Hah? Siapa, santet?” tanya cewe itu pura-pura tuli.
     “Sha-nad.” ulang Shanad mengeja namanya.
     “Nama yang freak.” cewe itu berbalik arah hendak kembali ke bangkunya, ketika seorang cowo bertopi SMA dengan postur tinggi masuk kelas, ia mulai menggoda cowo itu dengan sikap centilnya.
     “Hai, nama?” sapanya genit berbeda dengan nada yang diucapkan kepada Shanad sebelumnya. Cowo itu tak membalas sapaan cewe centil itu. Ia cuek dan malah sibuk memilih bangkunya di deretan belakang.
     “Gue Ramolla Diana Adelheid. Biasa dipanggil Olla.” kata cewe bernama Olla dengan pedenya, sambil memelintir rambut rebondingnya. Cowo itu menatap Olla heran. Lalu tersenyum datar.
     “Nama lo freak.” kata cowo itu akhirnya, membuat siapapun yang mendengarnya tak kuasa menahan tawa. Olla duduk dibangkunya sambil menggerutu. Shanad berpangling kearah cowo itu. Sebelah matanya terlihat dari topi SMA yang menutupi sebagian kepalanya. Pemilik mata itu, hanya ada satu yang memiliki serupa.
     “Dane,” panggil Shanad setengah berbisik. Orang yang dipanggilpun menengok. Benar, orang itu Dane. Shanad hafal betul pemilik mata elang itu.
     “Shan? Sekelas lagi?” tanya Dane basa-basi. Shanad terkejut tak percaya. Cowo yang duduk disebelahnya adalah Dane. Dane yang sama seperti temannya sewaktu SMP. Dane yang tak lagi menghubunginya sebulan terakhir. Dane yang sempat menghilang dan dikira Shanad telah pindah sekolah keluar kota. Ternyata itu hanya akal-akalan Dane saja.
     “Bukannya lo? Ya ampun...lo ngerjain gue?” Shanad menepuk bahu Dane. Dane mengerlingkan matanya jahil.
     “Ya, gitu deh.” jawab Dane santai. Shanad bersyukur Dane tidak jadi pindah. Atau ini hanya akal-akalan Dane saja untuk mengerjai Shanad? Apapun alasannya, Shanad tetap bersyukur Dane tetap berada disisinya. Bahkan mereka beruntung dipertemukan lagi dalam satu kelas yang sama.
     “Oh iya Dan, itu temen baru gue. Namanya Awan.” Shanad menunjuk Awan yang sedang memejamkan matanya ditepi jendela. Semilir angin membuat poni mangkuknya berkibar lucu.
     “Dia tidur?”
     “Entah,” Shanad mengidikkan bahu. Keduanya kompak memperhatikan tingkah lucu Awan yang sekarang sedang bersiul menyanyikan lagu karawitan sunda. Sepertinya Awan akan memberikan warna baru dalam lingkaran persahabatan mereka,pikir keduanya.
      Awan yang sadar sedang diperhatikan, membuka matanya. Shanad dan Dane tersenyum kearahnya. Awan menggaruk kepalanya malu.
     “Eh, itu siapa?” tanya Awan melihat Shanad sudah akrab dengan Dane.
     “Ini Dane. Dane, ini Awan.” Shanad memperkenalkan keduanya. Keduanya saling berjabat tangan.
     “Gustiawan. Orang-orang nyebutnya Awan. Mungkin putih kayak awan.” kata Awan lugu. Dane melihat sekilas kulit awan yang berwarna sawo matang. Mungkin unsur putih terletak pada gigi dan bola matanya, pikir Dane.
     “Lo lucu ya, kayaknya seru deh.” puji Dane. Awan tersenyum malu.
     “Dari dulu orang kata gitu. Entah lah, Awan ngga bisa menilai diri sendiri.”
     “Iya Dan, dia lucu. Gue gemes liatnya.” timpal Shanad.
     “Kamu juga lucu kok,” kata Awan menunjuk Dane. Dane tersenyum geli.
     “Dia jayus, bukan lucu!” ralat Shanad di sertai anggukan dari kepala Dane.
     “Iya, maksudnya gitu.”
      Pagi itu kelas ramai dengan siswa-siswi yang sibuk berkenalan. Tak terkecuali Olla yang tadi sempat malu karena sindiran Dane, kini sudah menetapkan ke empat personil kedalam geng barunya. Ataupun Disty yang dihari pertama sekolah sudah membaca buku paket Sains semester 2. Mungkin yang semester 1 sudah habis ia baca kemarin. Dan Farina yang meramaikan kelas dengan suara seriosanya yang memukau para penggemar yang duduk tak jauh dari dirinya. Warna-warni dalam kehidupan Shanad sudah akan dimulai.
      Ia tak tahu cerita apa yang akan tergores dilembaran barunya. Shanad hanya berdoa, semoga masa SMP nya tak terulang kembali dimasa SMA. Ia sudah terlalu nyaman berada dikelas ini. Semoga Tuhan mengabulkan permohonannya.

Everlasting NeverendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang