You Can Only Imagine

592 15 0
                                    

3 bulan sebelum UN.
     “DANEEE..... tau ngga!? Try Out Matematika gue naik 0,75 point... Mana traktirannya?” seru Shanad tiba-tiba ketika Dane baru selesai keluar dari ruang ganti Olahraga. Dane menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang ia gantung di pundaknya.
     “Iya bentar, gue baru selesai latihan basket nih, ngga liat?” jawab Dane sambil mengibar-ngibarkan handuk hijaunya didepan wajah Shanad yang menebar bau asing.
     “Selalu aja, gue tebak itu ngga pernah dicuci lagi sejak gue cuci lima bulan yang lalu?” tebak Shanad dibalas anggukan dari Dane, membuat Shanad geleng-geleng kepala tak habis pikir.
     “Oh Tuhan...” pekik Shanad lantang. Dane yang mendengarnya terkekeh pelan.
     “Selalu gue semprot kok. Tenang aja...” timpal Dane membela diri.
     “Tapi kan, kumannya ngga bakal mati, Daneee...” kata Shanad dengan suara geram membuat Dane ingin mencubit pipinya yang tembam.
    “Tau apa lo soal kuman? Bedain kuman sama bakteri aja ngga bisa.” ledek Dane membuat bibir Shanad manyun 2 senti.
     “Nah, sekarang mau makan apa?” tanya Dane sambil merangkul pundak Shanad.
     “Mmm...bakso Pak Mien, plus ceker gorengnya sama jamur crispy,  jangan lupa orange juice nya.” Jawab Shanad menyebutkan menu andalannya yang sudah dihafal Dane.
     “Ngga bosen sama yang itu-itu mulu?”
     “Ngga akan bosen hingga maut memisahkan kita...eyak...HAHA, udah yuk cabut aja. Keburu nyanyi-nyanyi nih perut gue.” Shanad menarik tangan Dane hingga mereka sampai didepan tenda bakso Pak Mien.
    “Yah kursi kita ditempatin tuh...” keluh Shanad menunjuk tempat biasa mereka mangkal makan bakso yang kini sedang dihuni sepasang suami istri dan balita mereka.
    “Yaudah, sini aja.” kata Dane menarik kursi plastik dibawah meja dekatnya berada. Shanad segera menahan Dane untuk duduk. Ditariknya tangan Dane menuju bangku yang menjauhi bangku pilihan Dane.
     “Jangan disitu, itu tempat gue sama Tora biasa makan bakso disini.” jelas Shanad menjawab pertanyaan Dane yang terpendam. Dane membalasnya dengan anggukan kepala.
     “Pesen biasa mbak,”
      Seorang pramusaji segera mencatat pesanan Shanad yang sudah menjadi pelanggan tetap tenda bakso mereka. Lalu segera memberikan kertas pesanan kepada pegawai lain yang berada dibalik bilik dapur.
     “Lo masih berhubungan sama Tora?” tanya Dane membuka pembicaraan. Shanad menatapnya sebentar sebelum menjawab.
     “Ya gitu-gitu aja...antara senior sama junior. Terakhir sih, kemarin di McD ga sengaja ketemu. Dia dateng sama pacar barunya,” jawab Shanad malas. Lagi-lagi Dane hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
     “Sama Wendi.” lanjut Shanad membuat mata Dane terbelalak kaget.
     “Serius? Wendi si ketua kelas?” kali ini Dane bertanya dengan antusias dijawab oleh anggukan lemas kepala Shanad.
      Pesanan mereka datang. Dua porsi bakso pangsit, satu mangkuk ceker goreng dan jamur crispy, satu orange juice dan satu jus tomat. Mereka selalu memesan itu.
     “Biasanya lo makan apa aja sama Tora disini? kayak gini juga?” tanya Dane tak lepas dari topik “TORA”  dalam pembicaraan kali ini. Shanad mencomot jamur crispynya sambil menjawab pertanyaan Dane.
     “Engga. Dia selalu milihin menu untuk kita makan, dan dia selalu mesenin gue menu yang sama kayak dia. kita selalu kembar.” jawab Shanad sambil mengunyah bakso dimulutnya. Lalu menuangkan tiga sendok sambal kedalam mangkuknya.
     “Dan dia ngelarang gue untuk makan yang pedas-pedas. Katanya bisa merusak lambung gue kalo kebanyakan. Lucu ya, gaya pacaran kita,” lanjut Shanad sambil tertawa dengan pandangan kosong. Dane bisa melihat sorot mata Shanad yang terpancar. Dane mengambil cuka disebelahnya lalu menuangkan secukupnya kedalam mangkuk. Kemudian melahap pelan isi didalam mangkuknya.
     “Tau gini, gue ngga akan pacaran sama dia kalau tau akhirnya.”
     “Don’t say like that. Dia emang bukan siapa-siapa lo lagi. Dia terlalu bajingan untuk cewe kayak lo.” kata-kata Dane seakan memberi kekuatan baru untuk Shanad. Shanad segera menghilangkan bayangan Tora yang tadi sempat terlintas dipikirannya. Lalu melanjutkan makan siangnya dengan perasaan sedikit lega. Ia sudah menceritakan bebannya kepada orang yang paling ia percaya selain ibunya. Dan Dane tak keberatan mendengar curahan hati dari sahabatnya itu.
      Sejak 3 tahun terakhir ini, Shanad dan Dane sangat begitu dekat. Mereka menyebut ini dengan persahabatan. Entah siapa yang memulainya, lambat laun Shanad mulai masuk kekehidupan Dane begitu pula sebaliknya. Dane terlahir dari keluarga mampu, Ayahnya seorang direktur salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta saat itu. Awalnya Dane dimasukkan kekelas Unggulan karena ayahnya menginginkannya mempunyai banyak sertifikat prestasi dari fasilitas kelas unggulan yang memudahkan siswanya mengikuti berbagai macam olimpiade hingga tingkat bergengsi. Pada dasarnya Dane tergolong siswa yang setia menduduki juara bertahan di kelasnya. Itulah dasar mengapa ayahnya ingin Dane mewarisi kursi yang telah disiapkan ayahnya untuk menduduki kursi jabatannya sebagai penerus perusahaan. Semua pikiran para pengusaha dasarnya sama. Harta dari kerja keras mereka harus dipertahankan oleh keturunan mereka. Tak terkecuali ambisi Ayahnya Dane yang sama persisnya. Mau tak mau, Dane harus menuruti keegoisan Ayahnya menjadi pewaris tunggal perusahaan. Tapi peristiwa MOS yang mesti menggesernya menduduki kelas reguler, membuatnya sedikit lebih bersyukur. Ia tak lagi terjebak dalam keegoisan Ayahnya yang dulu memaksanya meraih Serifikat sebanyak-banyaknya. Karena fasilitas murid reguler tidak seistimewa murid Unggulan.
      Berbeda  dengan Dane, Shanad justru terlahir dari keluarga kurang mampu. Bisa dibilang, hidup Shanad gelap. Ibu Shanad “mantan”  pelacur sewaktu muda. Beruntungnya Shanad adalah anak terakhir yang direlakan Ibunya untuk dilahirkan, tidak seperti kakak-kakak Shanad sebelumnya yang direlakan untuk diaborsi oleh ibunya. Tuhan berkata lain untuk kehidupannya. Dan ia tidak pernah menyesali keadaan ibunya yang sudah renta, ataupun menyalahkan Ibunya akibat pekerjaan yang pernah ditekuni ibunya dulu. Shanad tak pernah menyalahkan siapapun. Ia tak pernah marah ketika semua teman-temannya menjauhi Shanad atupun mengata-ngatainya sebagai anak haram. Justru Ia akan marah ketika siapapun berani menghina Ibunya. Dan ia bersyukur, Dane bukan termasuk dari  orang-orang itu. Justru Dane lah yang menawarkan sayap malaikat untuknya. Hanya Dane, dan tidak ada seorangpun selain dia.
     “Thanks Dan, abis ini gue masih harus jaga toko nih. Gue cabut duluan ya, lo ngga apa-apa kan?” kata Shanad dengan mulut penuh jamur crispy dan bibir yang belepotan saus sambal.
     “Hm...lo masih jaga toko itu?”
     “Ya begitulah, walaupun gajinya kecil, tapi itu satu-satunya tempat yang mau nerima karyawan muda kayak gue. beruntung ya gue...” jawab Shanad sambil meneguk cepat orange juicenya.
      Shanad bekerja disebuah toko buku lawas disekitar ruko-ruko Pasar Baru. Tempat Shanad bekerja bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Malah terkesan sepi dari pengunjung. Jaman sekarang, siapa yang akan rela membeli buku atau sekedar membaca buku didalam ruangan seluas 8x8 meter dengan rak-rak berkayu lapuk dan sebagian bukunya adalah terbitan lama. Di era modern ini, mereka akan lebih memilih membeli buku di toko buku dengan fasilitas senyaman mungkin walaupun harga buku tentunya akan ikut mempengaruhi itu. Hanya Profesor dari Universitas yang tak jauh dari Pasar Baru ataupun Mahasiswa yang benar-benar membutuhkan buku resensi terbitan lama yang akan mengunjungi toko buku tempatnya bekerja.
      “Sukses ya.” kata Dane sebelum Shanad benar-benar pergi meninggalkan tenda Bakso Pak Mien.
      Entah bagaimana cara Dane membantu Shanad dalam biaya hidup. Dane hanya bisa mendoakan Shanad, agar sahabatnya itu tiba-tiba mendapat keberuntungan seperti menjadi jutawan dalam semalam, atau menang undian satu miliar dari agen promosi perusahaan sabun colek. Atau apapun lah, yang membuat cewe itu tak perlu bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
      Seharusnya, Shanad tidak perlu merasakan rasanya bekerja diusianya yang bahkan belum mencapai remaja sempurna. Seharusnya Shanad dapat merasakan rasanya berteman dalam geng cewe disekolahnya. Namun itu tak pernah terjadi, ketika teman satu sekolahnya tak ada yang mau mendekatinya termasuk Tora sekalipun, ketika mereka tahu semua rahasia Shanad satu persatu. Ya, walaupun itu tidak berlaku bagi Dane. Sekali lagi, hanya Dane yang tidak terpengaruh teman-temannya untuk mengasingkan Shanad. Walaupun ia sendiri harus menerima perlakuan yang sama seperti Shanad.

Everlasting NeverendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang