Awan (?)

318 11 0
                                    

“Nih,”
      Seseorang menyodorkan kotak bekal bergambar Thomas n’ Friends diatas meja Shanad. Shanad bangun dari posisinya yang semula menelungkupkan kepala diatas meja.
     “Apa ini?” tanya Shanad mengamati kotak bekal anak kecil itu tanpa berniat membukanya.
     “Makan aja. Itu sarapan.” jawab Dane sambil melempar tubuhnya diatas kursi, lalu menyalakan iPod hitam miliknya.
     “Gue beli sarapan aja,” kata Shanad lemas mengambil posisi untuk tidur lagi. Dane menyeret bangkunya disamping Shanad. Dan sebuah jitakkan dari pulpen Dane pun melayang ke kening Shanad.
     “Aw, iiih usil banget sih!”
     “Makannya di makan,”
      Shanad menggaruk-garuk keningnya tanpa membuka mata. Lalu kembali berusaha untuk tidur sebentar di jam istirahat. Mata Dane membulat, dijitaknya lagi kening Shanad hingga Shanad terusik lalu bangun kembali.
     “Lo semakin pucet kalo tiap pagi ngga sarapan. Semenjak  Ibu lo ngga ada, lo jadi jarang sarapan. Nyokap bikinin lo tempura nih, cepet dimakan. Keburu masuk!” Shanad membuka matanya lalu mengangguk tanpa tenaga. Dilihatnya kotak bekal didepannya sambil terkikik.
     “Apanya yang lucu?” tanya Dane heran, melihat tingkah laku Shanad yang tiba-tiba tertawa tanpa sebab. Jangan-jangan roh jahat masuk kedalam jiwa Shanad ketika dia tidur tadi?
     “Lucu, kotak bekal lo imut. Ngga nyangka Dane sukanya si kereta biru yang ada matanya.”
       Dane menghela nafas lega. Untung Shanad tidak kemasukkan seperti bayangannya. “Udah, dimakan aja. Jangan komentar segala.”
      Shanad merengut sambil membuka kotak bekal itu. Didalamnya sudah tersedia aneka macam lauk pauk yang menggiurkan. Tempura, Nasi kepal dan Mi Udon.
     “Ibu lo suka masakan jepang?” tanya Shanad sambil melahap potongan Tempura dan Nasi. Dane mengangguk sambil kembali ke mejanya. Menyalakan kembali iPodnya yang sempat di pause.
     “Enak lho Dan, steak yang kemarin juga enak.” tiba-tiba Shanad teringat peristiwa Ayah Dane kemarin. Baru saja ia ingin bertanya, ketika dilihatnya Dane sudah meletakkan kepalanya diatas meja membelakangi Shanad dengan Headphone silver yang terpasang di kedua belah telinganya. Shanad tak berani menggangu. Akhirnya ia hanya bisa menghabiskan sarapan siangnya tanpa banyak bicara. Tepat setelah Shanad menutup kotak bekal Dane, bel masuk berbunyi.
     “Udah habis?” tanya Dane yang langsung terbangun begitu bel masuk berdering nyaring.
     “Udah, Ini gue bawa pulang ya? Gue cuci dirumah.”
     “Ngga usah, biar nyokap yang nyuci.” Dane merebut kotak bekalnya yang hampir masuk tas Shanad. Lalu menyelipkan di laci mejanya.
     “Hai Wan!” sapa Shanad ketika Awan masuk kelas. Awan melirik Shanad sekilas, lalu duduk dibangkunya tanpa membalas sapaan Shanad.
     “Tadi kemana aja? Biasanya di dalam kelas sambil baca buku Lima Sekawan?” tanya Shanad penasaran. Namun Awan tak berpangling sedikitpun. Ia menatap lurus ke arah papan tulis dengan pandangan kosong. Shanad mulai cemas.
     “Awan?” Shanad melambai-lambaikan tangannya didepan mata Awan. Tak ada renspon sedikitpun dari Awan.
     “Dan, Awan kenapa?” tanya Shanad kepada Dane. Dane hanya mengangkat bahunya .
     “Lo liat ngga tadi? Mukanya idiot banget....HAHAHAHA...” Olla dan gengnya masuk kelas dengan heboh. Shanad segera memasang pendengaran tajam.
     “Udah tua, masih aja nyanyi nyanyi sambil bawa Ken doll. Baju nya juga sok banget pake Armani. Aduh, malu deh gue jadi keluarganya.” sahut Delima teman Olla. Sekarang mereka sudah terkikik seperti lampir. Suara isakan muncul dari sebelah Shanad. Bahu Awan sudah berguncang. Matanya memerah menahan tangis. Shanad semakin tak mengerti keadaan ini.
     “Wan? Jangan nangis, kenapa sih lo?” tanya Shanad khawatir. Dane melepas Headphonenya lalu beralih ke Awan. Rasa simpatik nya baru muncul.
     “And, lo tau ngga? Katanya, bapak-bapak tadi lagi nyari anaknya disekolah ini. Jangan-jangan lo lagi anaknya?! HAHAHA.” tuduh Olla menunjuk Kyari sambil terbahak. Kyari bergidik geli. Mereka baru selesai tertawa setelah Guru Matematika datang. Dan saat tawa mereka terhenti, Awan menangis dalam diam.

Ù

Shanad sudah siap dengan setelan seragam magangnya di Hota-Hota Pizza. Seragam itu berwarna merah dengan logo Hota-Hota Pizza tertanam di sebelah kanan baju. Shanad menggenakan topi merahnya yang juga bagian dari seragam kerjanya. Hari ini tugasnya hanya membereskan sisa makanan di meja dan mencuci piring di dapur. Shanad keluar dapur ketika seseorang meneriaki namanya untuk membereskan sisa makanan di meja nomor 21.
     “Elo?” pekik seseorang tiba-tiba yang duduk di kursi yang sedang ia bereskan mejanya. Shanad tak menggubris seseorang itu. Ia buru-buru untuk mengelap meja nomor 21.
     “Cewenya Dane kan?” Shanad mendongak. Ternyata orang itu Obe. Shanad makin takut ketika tahu bahwa orang itu musuhnya Dane.
     “Kerja disini juga?” Shanad segera berlari hendak kembali kedapur ketika Obe menahan tangannya.
     “Kenapa panik gini sih, gue kan ngga ngapa-ngapain.” Shanad melepaskan pegangannya dari Obe. Lalu buru-buru masuk dapur walaupun Obe memanggilnya.
     “Sial, kenapa dia ada disini sih?!” desah Shanad risih. Berniat mencuci piring di bak wastaffel.
     “Shanad, meja 12!” teriak Ajeng si koordinir karyawan. Shanad bergegas mematikan kran sambil mendesah panjang. Obe pasti masih menunggu disana.
     “Lo kerja disini?” tanya Obe begitu Shanad keluar dari dapur dan membawa lap. Shanad menatapnya tajam mengirim sinyal jangan-ganggu-aku. Obe mundur beberapa langkah.
    “Oh, oke oke... lo keliatannya sibuk banget?”
     Shanad memutar bola matanya.
     Lo pikir gue lagi santai, gitu?
     “Gue pesen small black pepper chicken pizza satu dong, sama pepsi.” kata Obe tanpa beban. Shanad menatapnya kesal. Dia pikir Shanad Pelayan? Shanad kan, hanya kerja di bagian kebersihan. Apakah Obe terlalu malas untuk pergi kekasir dan memesan pesanannya?
     “Maaf, aku ngga melayani pelanggan. Aku disini kerja di bagian kebersihan.” tegas Shanad.
     “Tapi lo kan sama-sama karyawan. Bedanya apa coba?” tukas Obe pantang menyerah.
     “Kamu bisa pesen ke kasir kalo kamu mau sesuatu,”
     “Lo kan bisa bilang ke temen lo, bahwa gue mesen small black pepper chicken pizza sama pepsi. Ya, kan? Tunggu, nama lo siapa?”
      Shanad melengos masuk ke dapur tanpa mempedulikan ocehan Obe. Baru sebentar ia menghela nafas, tiba-tiba panggilan dari Ajeng membuatnya naik darah.
     “Oh Tuhan...bantu aku...” pekiknya sebelum keluar dari dapur.
     “Shanad, Customer ini ingin dilayani sama kamu. Bisa kamu bantu sebentar?” pinta Ajeng disertai cengiran nakal Obe. Dia lagi, dia lagi. Shanad harusnya tahu, bahwa Obe tak akan menyerah begitu saja.
      “Tapi mbak, saya bukan pelayan disini.” elak Shanad.
      “Bukan berarti kamu lepas dari tanggung jawab melayani pelanggan. Sekarang kamu bawakan apa yang ingin dia pesan!” perintah Ajeng tegas sambil kembali ketempatnya di belakang kasir. Shanad mendengus keki. Baru saja Obe ingin mengoceh lagi, ketika Shanad kembali kedapur lalu tak berapa lama membawakan pesanan Obe yang masih diingatnya. Obe tersenyum penuh kemenangan.
    “Dimana meja kamu?!” tanya Shanad ganas. Wajahnya sudah badmood sedari tadi.
     “Situ!” tunjuk Obe dengan dagunya. Shanad segera meletakkan small black pepper chicken pizza dan pepsi pesanan Obe ke meja yang ditunjuk.
     “Masih mau kerja?”
     “Make nanya!” jawab Shanad sewot. Obe berdehem membuat Shanad berhenti.
     “Apalagi?!” tanya Shanad geram. Obe hanya melambai-lambaikan tangannya sembari duduk di kursi.
     “Have a great job...” Shanad memutar tubuhnya memasuki dapur yang seharusnya menjadi tempatnya bekerja. Bukan sebagai pelayan. Apalagi melayani Obe yang banyak maunya.
      “Dasar resek!” umpat Shanad kemudian sambil menutup pintu.

Everlasting NeverendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang