Part 3 : Great!

18 1 0
                                    

Jangan sekali-kali terbesit untuk membenci takdir yang telah Tuhan gariskan.
Karena hal tersebut ibaratkan sama saja dengan membenci dirimu sendiri.

***

Seoul 28 FEBRUARY.
2.40 AM KST

"LEPASKAN!!"

"KUBILANG LEPASKAN, BERENGSEK!"

Jeritan penuh kemurkaan ia lontarkan kepada sosok tinggi menjulang didepannya. Tatapan penuh kekhawatiran terpancar pada raut sendu. Bukan maksud gerangan melayangkan hal itu tanpa alasan. Karena sesuatu hal yang bahkan dirinya tak mampu untuk sekedar menarik nafas segar.

Apa yang harus ia lakukan lagi. Ia tak tau, tersesat. Kehilangan arah tujuan. Dan ia ingin menyerah. Namun bahkan kematian pun tak pernah sudi menerima jiwanya.

Sungguh begitu menyakitkan terombang ambing diantara kesadaran dan kesekaratan.

Meraung-raung, menangisi permainan takdir yang tak pernah puas menyiksanya. Menghancurkannya.

"Misoo!"

Kegelapan lagi-lagi hampir merenggut paksa alam sadar. Namun suara itu bak oase di padang gurun Sahara yang tandus, sedikit mampu mengembalikan separuh dari akal sehatnya.

Misoo kembali meraung, kali ini dalam dekapan hangat seseorang yang sangat ia butuhkan. Tubuhnya yang menggigil kedinginan kembali terbalut akan kehangatan tulus penuh afeksi yang sesungguhnya.

"Ya Tuhan... Maafkan aku, Misoo. Seharusnya aku tak membawamu kemari." suara berat nan dalam itu terdengar penuh penyesalan dan kekhawatiran. Bercampur menjadi satu padu. Layaknya adonan roti yang siap dipanggang. Astaga bisa ikut gila dirinya.

"Bawa aku pergi dari sini tae-ah. Kumohon... Aku-ak-"

"Ssstt... Iya, aku akan bawa kau pergi. Tapi kau tenang dulu okay. Tarik nafasmu dalam-dalam lalu hembuskan. Tenang okay tenang..." Taehyung rasanya jadi ikutan gila, ketika melihat tubuh sahabatnya tremor penuh kerapuhan ini. Kuwalahan mengatasi ketakutan dalam dirinya sendiri.

Beberapa sekon berlalu lenggang. Setelah memastikan diri Misoo terlihat sudah sedikit lebih tenang. Meskipun harus terduduk lemas di dinginnya lantai marmer sebuah mansion mewah nan megah, yang tidak lain adalah milik keluarga Kim berada.

Membenarkan letak jaket bomber miliknya agar dapat terpakai nyaman ditubuh sang sahabat. Tubuh semampai Taehyung lekas bangkit berdiri, menghadap lurus ke depan. Tanpa sedikitpun ada rasa gentar dan ragu.

Membalas tatapan tajam nan menusuk dari pancaran kedua bola mata tuan besar, pemilik mutlak mansion megah. Yang kini terduduk santai menumpukan salah satu kakinya bersilang, di sofa itu. Dengan raut penuh kecongkaan, meremehkan adegan malang barusan.

Sejak menginjakkan kaki di dinginnya marmer mansion ini, Taehyung sudah terbakar emosi, namun tetap berusaha menahan. Tapi untuk detik ini dirinya tak bisa lagi, sungguh tak bisa. Mengingat kejadian mengerikan apa yang baru saja terjadi pada Misoo.

"Maaf atas kelancangan saya, tuan besar Kim. Saya Taehyung selaku teman dan sahabat Kim Misoo, anak anda. Saya mohon izin untuk membawa teman saya atau anak anda, ikut dengan saya malam ini. Teman saya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk pulang kemari. Jadi saya mohon dengan segala hormat untuk mengizinkan saya pergi membawanya malam ini." Terduduk. Tertunduk dan bersujud di depan orang yang mengaku sebagai ayah dari temannya.

Pantaskah pria angkuh di sana, menyandang gelar sebagai seorang Ayah. Ayah yang bahkan tega menghukum dan menyiksa anaknya sendiri, hanya demi meraup keuntungan pribadi.

My Enemy BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang